TAK ayal lagi degradasi moral siswa kita sudah sedemikian menurunnya. Orang menyalahkan globalisasi sebagai biang kerok dari menurunnya moral dan karakter tersebut. Contoh-contoh seperti kebrutalan, tindakan kriminal maupun kenakalan remaja, dan perilaku menyimpang lainnya menjadi dasar kuat dari perlunya pendidikan yang dapat mengarahkan siswa menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan mampu menghindari segala perbuatan buruk.
Di samping itu, perilaku religius pun sudah semakin perlu untuk dihidupkan kembali. Kemaksiatan terjadi di mana-mana. Hal itu dilakukan bukan oleh orang yang berpendidikan rendah saja. Mereka yang berpendidikan tinggi pun banyak yang berperilaku jauh dari tuntunan agama.
Pendidikan karakter religius
Pendidikan karakter religius dapat didefinisikan sebagai usaha aktif untuk membentuk suatu sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Nur Rosyid, 2013, 153). Dengan demikian, seseorang dapat dikatakan memiliki karakter religius ketika telah menaati ajaran agama yang dianutnya dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan pemeluk agama lain. Artinya, ada dua dimensi di sini, yaitu keimanan individual dan sosial. Keimanan individual menuntut siswa untuk menaati ajaran-ajaran agamanya, sedangkan keimanan sosial mendorong seseorang untuk berbuat baik dengan orang lain di sekitarnya, meski berbeda agama dan keyakinan.
Jika demikian, pendidikan karakter ini sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendidikan ini, di samping berhubungan dengan kehidupan harian kita, juga bertautan dengan pedoman hidup setiap manusia secara luas. Itulah karenanya, perbincangan mengenai pendidikan karakter tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian dan bagaimana merefleksikan persoalan-persoalan harian dalam perbincangan tentang karakter tersebut.
Dua dimensi dalam pendidikan karakter religius tersebut mempunyai kedudukan yang sama pentingnya. Dari sisi kehidupan individual dapat kita pahami bahwa pendidikan agama merupakan suatu program pendidikan yang menanamkan nilai-nilai ajaran agama melalui proses pembelajaran baik formal maupun nonformal. Tujuannya agar siswa memahami ajaran agama yang dipeluknya sehingga mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Agama berfungsi sebagai jalan untuk menggapai ketenangan hidup, baik di dunia maupun akhirat. Karena itu, tidak ada satu pun ajaran agama, baik itu perintah ataupun larangannya, yang bertujuan menciptakan kerusakan di muka bumi ini atau kesengsaraan di akhirat nanti.
Dari ranah sosial, kita dapat memahami bahwa ajaran agama melahirkan karakter umum seseorang, yaitu sifat-sifat dan perilaku sosial yang membawa perdamaian dan kemaslahatan bersama masyarakat secara luas. Agama secara umum merupakan suatu dogma yang mengajarkan sekaligus mengajak kepada pengikutnya untuk memercayai adanya Tuhan semesta alam.
Tuhan telah menyampaikan perintah dan larangan agar manusia patuh untuk memiliki akhlak baik dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Dengan begitu, peran agama dalam menciptakan perdamaian ialah memberikan pedoman kepada setiap umat manusia untuk pengendalian diri dan hidup dalam jalan yang baik dan teratur. Dalam konteks sosial, agama berperan sebagai transformasi sosial dari kehidupan penuh konflik menjadi kehidupan dengan suasana lebih baik dan damai.
Dialog merupakan tindakan terbaik untuk mencapai perdamaian dunia. Dialog dapat dilakukan dengan menunjukkan tindakan, praktik sehari-hari, dan pembicaraan terhadap sesama tanpa mengucilkan, membeda-bedakan, dan menjatuhkan orang lain, tetapi merangkul, menjaga sikap dan pembicaraan agar terjalin hubungan baik dan mencontohkan tindakan sikap toleransi terhadap sesama umat manusia.
Dalam hal yang lebih luas, kita harus dapat menciptakan perdamaian, menyalurkan cinta kasih kepada sesama, dan dapat menyatukan setiap perbedaan yang ada. Setiap orang menunjukkan bagaimana agama yang dipeluk tidak dijadikan sebagai ajang eksistensi diri, melainkan menjunjung toleransi untuk bersama-sama menjadi contoh bagi kelompok masyarakat lainnya mengenai indahnya kebersamaan di tengah perbedaan. Dengan demikian, karakter utama orang beragama ialah cinta kehidupan damai dan penuh kasih kepada semua manusia, tanpa membedakan ikatan-ikatan primordial masing-masing.
Perlukah?
Pertanyaannya sekarang, perlukah mempertahankan pendidikan agama yang selama ini kita lakukan? Terdapat tiga model pengembangan pendidikan agama yang ada. Pertama, model entitas tunggal dalam arti pengetahuan agama berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan ilmu pengetahuan umum dan begitu pula sebaliknya. Kedua, model entitas terisolasi dalam arti masing-masing rumpun ilmu berdiri sendiri, tidak bersentuhan dan tegur sapa secara metodologis. Ketiga, model entitas interkoneksi dalam arti masing-masing sadar keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalu menjalin kerja sama dalam hal pendekatan, metode berpikir dan penelitian (Amin Abdullah, 2014: 10). Tampaknya model pertama dan kedualah yang selama ini kita praktikan, sedangkan model ketiga sangat jarang atau belum sama sekali dilakukan.
Kemudian Muhaimin (2009: 59) mengemukakan tiga model juga dalam pendidikan agama. Pertama, model dikotomis. Model ini memandang aspek kehidupan dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya ialah dikotomi atau diskrit. Kedua, model mekanisme. Model ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.
Hubungan antara nilai agama dan nilai-nilai lainnya dapat bersifat lateral-horizontal (independen), lateral-sekuensial, atau vertikal linier. Ketiga, model organisme/sistemik. Model ini bertolak pada pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yakni terwujudnya kehidupan yang religius atau dijiwai ajaran dan nilai-nilai agama. Kita melihat bahwa model dikotomis lebih banyak diamalkan dalam pendidikan kita. Agama dilihat secara terpisah dengan pendidikan umum. Karena itu, muncullah pendidikan agama dan non-agama.
Jika pendidikan agama hanya berkutat pada model entitas tunggal serta entitas terisolasi, jangan pernah diharap pendidikan agama akan berhasil memberikan hasil yang berguna bagi kehidupan kebangsaan kita. Demikian pula jika hanya model dikotomis yang dipraktikkan tanpa mengembangkan model mekanisme dan organisme dalam pendekatannya, pendidikan agama tidak akan mampu menghasilkan gerakan yang positif bagi pendidikan kita.
Penciptaan perdamaian sebagai muara utama pendidikan agama tidak akan terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air, jika kita masih memahami pendidikan agama tanpa fokus pada pendekatan yang baru.