KETIKA Bung Karno dan Bung Hatta kembali dari Dalat, Vietnam, setelah bertemu dengan Jenderal Terauchi, mendapatkan janji Indonesia merdeka yang diberikan pasukan Jepang yang menjajah Indonesia selama 3,5 tahun. Ibu Fatmawati berinisiatif menjahit sehelai bendera Merah Putih yang akan dikibarkan sehubungan dengan janji tersebut.
Merah putih menjadi warna pilihan untuk bendera nasional Indonesia berdasarkan filsafat mengenai adanya getah dan getih yang sudah ada sejak era kemaharajaan Majapahit. Getah berwarna putih dan getih (darah) selalu berwarna merah. Umbul-umbul berwarna merah dan putih itu merupakan bendera dari Kerajaan Majapahit terutama dibawa ketika pasukan Majapahit berperang untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara. Hal itu sesuai dengan Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada sekitar abad ke-12. Getah getih juga merupakan lambang wanita dan pria yang merupakan pasangan manusia.
Dalam hubungan itu, Adam AS ialah berlambang getah (putih), sedangkan Siti Hawa ialah getih (darah) lambang wanita. Kedua unsur itu bersatu padu dalam bentuk lingga dan yoni seperti yang tergambar di Monumen Nasional. Merah dan putih itu juga menginspirasi Bung Karno untuk membuat bendera partai merah putih, khususnya Partai Indonesia (Partindo) yang dipimpin Bung Karno pada 1933. Bendera partai saat itu ialah merah putih dengan lambang kepala banteng di tengahnya.
Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, bendera merah putih tanpa lambang kepala banteng di tengahnya menjadi bendera resmi negara nasional Indonesia. Bendera yang dikibarkan setelah pembacaan proklamasi di Pegangsaan Timur 56 ialah bendera merah putih yang dijahit Ibu Fatmawati di era janji Indonesia merdeka, dan dikibarkan seorang perwira Pembela Tanah Air (Peta) Latief Hendraningrat.
Bendera itu selanjutnya menjadi bendera pusaka bagi bangsa dan negara Republik Indonesia hingga saat ini.
Walaupun demikian, di era Orde Baru, Tien Suharto atas persetujuan Presiden Soeharto mengganti bendera pusaka tadi dengan duplikat karena usia kain sudah tidak layak lagi dikibarkan di tiang 17 Istana Merdeka. Sebab bila hal itu dipaksakan, pasti akan robek.
Jadi, bendera yang dikibarkan sampai dengan saat ini setiap acara 17 Agustus di Istana Merdeka ialah duplikat yang terbuat dari kain sutra pilihan. Sehari-harinya bendera pusaka asli dan duplikatnya disimpan di ruang khusus di Monumen Nasional. Hal itu sesuai dengan ide dari instruksi Bung Karno.
Suka duka pengibaran bendera pusaka
Di era Bung Karno sebagai presiden, bendera pusaka dibuatkan sebuah kotak dari kayu jati yang dapat dikunci dan disimpan di sebuah lemari di kamar tidur Bung Karno di Istana Merdeka. Di situ diletakkan bersama-sama dengan sebuah keris pusaka dan sebuah kitab suci Alquran. Penanggung jawab perawatan dan upacara pengibaran bendera pusaka diemban Prihatin, seorang anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi) dari Brimob.
Pelatih sekaligus menjadi Komandan Paskibraka pada era itu ialah juga seorang anggota DKP dari Brimob, Oding Suhendar. Kedua adik penulis, Megawati dan Rahmawati, pernah menjadi pembawa bendera pusaka dengan didampingi Meutia Hatta sebagai pemegang kunci kotak bendera. Ketika ibu kota RI hijrah ke Yogyakarta pada sekitar 1946, bendera pusaka juga dibawa serta di dalam kereta api luar biasa (KLB) kepresidenan.
Rombongan tiba dengan selamat di Stasiun Tugu Yogyakarta keesokan harinya. Presiden beserta keluarga tinggal di Gedung Agung Yogyakarta. Bendera pusaka menurut penuturan ibuku disimpan di lemari khusus di kamar Bung Karno dan Ibu Fatmawati. Ketika kolonialis Belanda melakukan serangan biadab untuk kedua kalinya ke Yogyakarta dan menduduki Gedung Agung, sebelumnya Bung Karno memerintahkan seorang staf Gedung Agung Mutahar agar menyelamatkan bendera pusaka agar tidak jatuh ke tangan Belanda yang dipimpin Kolonel Van Langen.
Setelah berpikir secara mendalam, dengan cerdik Mutahar membuka jahitan kain merah dan putih sehingga terpisah dan menyimpannya di tempat (koper) berbeda sehingga selalu lolos dari pemeriksaan. Setelah kolonialis Belanda bertekuk lutut dengan mengakui kedaulatan RI, ibu kota kembali ke Jakarta. Presiden dan keluarganya tinggal di Istana Nordwijk yang oleh Bung Karno namanya diganti menjadi Istana Merdeka. Waktu penulis masuk ke istana, kondisinya sangat memprihatinkan, bahkan dapat dikatakan porak-poranda tanpa peralatan rumah tangga dan meja kursi yang memadai. Secara bertahap Bung Karno dan Ibu Fatmawati membenahi kondisi interior dan eksterior kedua istana, Merdeka dan Negara.
Untuk upacara pengibaran bendera pusaka setiap 17 Agustus, Bung Karno memerintahkan bagian pembangunan agar membuat tiang beton yang tingginya 17 meter dengan ornamen bunga padma di bawahnya. Hal itu sempat menuai kritik-kritik dari berbagai kalangan karena dianggap berbiaya mahal dan mubazir mengingat keuangan negara sedang defisit. Namun, Bung Karno berkeras meneruskan idenya.
Kejadian menegangkan di era Orde Baru
Pada 1967 Bung Karno didongkel dari kekuasaannya setelah Pidato Pertanggungjawaban Nawaksara dan pelengkap Nawaksara ditolak MPRS melalui Tap MPRS XXXIII/1967. Bahkan dinyatakan bahwa Bung Karno dapat diduga terlibat G-30-S/PKI. Tidak lama setelah itu Bung Karno diharuskan meninggalkan istana untuk selanjutnya ditahan, istilahnya 'dikarantina' di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala), kediaman Dewi Sukarno di Jalan Gatot Subroto.
Bung Karno, melalui staf protokol Tukimin, menyerahkan bendera pusaka beserta kotaknya kepada Ibu Fatmawati yang saat itu sudah menetap di Jalan Sriwijaya No 7, Kebayoran Baru, untuk disimpan. Syahdan, tibalah saat Agustus 1967, Soeharto beserta seluruh jajarannya bingung karena bendera pusaka ternyata raib dari Istana Merdeka dan tidak diketahui keberadaannya. Sementara itu, 17 Agustus semakin dekat. Satu-satunya jalan harus bertanya kepada Bung Karno yang saat itu sedang diinterogasi tim yang dipimpin Kolonel Nicklany setiap malamnya.
Karena Bung Karno mula-mula bungkam, mulailah dilakukan penekanan-penekanan secara psikologis terhadapnya agar menyerahkan bendera pusaka untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1967 di Istana Merdeka. Ketika penulis berkunjung ke Wisma Yaso dari Bandung, Bung Karno mengutarakan situasi tersebut kepada penulis dan minta agar Ibu Fatmawati mengirimkan bendera pusaka kepada Bung Karno di Wisma Yaso.
Pesan tersebut penulis sampaikan kepada Ibu Fatmawati sambil berpikir bagaimana caranya? Karena Ibu sebenarnya juga berkeras tidak mau menyerahkan bendera buatannya kepada pemerintah Orde Baru. Namun, setelah dipertimbangkan masak-masak oleh Ibu tentang akibatnya bagi bangsa dan negara bila bendera pusaka tidak berkibar pada 17 Agustus 1967, akhirnya Ibu bersedia juga memenuhi permintaan Bung Karno.
Hanya saja, Ibu tidak bersedia menyerahkan secara langsung kepada utusan Soeharto yang rencananya antara lain terdiri dari Kepala Staf ABRI kala itu, yaitu Martadinata (KSAL), Soetjipto Joedodihardjo (Kapolri), KSAD (Soeharto) absen sudah menjabat presiden, dan KSAU (Oemar Dani) tidak dapat hadir karena ditahan dan belum ada penggantinya. Ibu Fatmawati atas persetujuan Bung Karno menghubungi keponakan Bung Karno, seorang purnawirawan laksamana muda AL Soejoso Poegoeh.
Coek Poegoeh yang kala itu menjadi Pemimpin Redaksi El Bahar, satu-satunya media surat kabar yang tetap konsisten mendukung Bung Karno, diminta agar menyerahkan bendera pusaka kepada Bung Karno melalui Megawati, adik penulis yang kala itu masih duduk di sekolah menengah atas. Oleh Ibu Fatmawati, bendera pusaka terlebih dahulu sudah diserahkan kepada Coek Poegoeh dan Ibu Fatmawati menginstruksikan caranya dengan melilitkan bendera tersebut di perut Megawati. Kemudian ditutup busana sehari-hari yang agak longgar. Pesannya, bila melalui pos pemeriksaan di Wisma Yaso agar Mega mengatakan sedang hamil muda.
Mega yang mendapat tugas penuh risiko tersebut ternyata sangat berani dan tenang. Ketika penulis tanya, "Kamu berani, Dis?" Dijawab tenang, "Aku siap, Mas!" Penulis saat itu hanya geleng-geleng kepala. "Ini kerjaan gila!" Suatu tugas yang hanya dapat dilakukan dengan ketahanan mental revolusioner yang tinggi. Begitulah akhirnya pada 17 Agustus 1967 bendera pusaka dapat berkibar dengan megah di tiang 17, di hadapan ribuan rakyat yang hadir. Rupanya menghadapi hal-hal yang rumit dan menegangkan urat saraf, akal Fatmawati lebih unggul daripada Mutahar.