TIDAK ada keributan ketika UNESCO mencatat indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 orang hanya ada satu yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi itu lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk negara anggota ASEAN lainnya yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun, atau warga Jepang membaca 10-15 buku setahun.
Tingkat literasi kita juga hanya berada pada rangking ke-64 dari 65 negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris bahwa tingkat membaca siswa Indonesia hanya menempati urutan 57 dari 65 negara. Itu pada 2015. Lalu berdasar survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara, atau 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Data itu sungguh memprihatinkan, tetapi tak ada sesuatu yang mengubah perilaku nirliterasi itu hingga saat ini. Persoalan-persoalan lain lebih penting untuk dibahas ketimbang membicarakan persoalan literasi bangsa yang masih rendah. Partai-partai politik dan organisasi massa masyarakat pun juga sama; tanpa gerakan atau dialog untuk bersama membahasnya.
MI/Duta
Kualitas bangsa
Kualitas suatu bangsa sangat ditentukan seberapa jauh tinggi-rendah kecerdasan dan pengetahuannya. Sementara itu, kecerdasan dan pengetahuan itu sangat ditentukan tinggi-rendah tingkat ilmu pengetahuan yang didapat, dan ilmu pengetahuan itu bergantung pada informasi yang didapat melalui baik lisan maupun tulisan. Semakin banyak penduduk suatu bangsa yang semangat mencari pengetahuan maka akan semakin tinggi peradabannya. Di sini, budaya suatu bangsa seiring dengan tingkat literasinya karena faktor kebudayaan dan peradaban dipengaruhi dari tinggi rendahnya bacaan terhadap temuan-temuan dari para cendekia.
Ketika pemerintah dan masyarakat tenang terhadap rendahnya literasi, itu menjadi suatu ciri bahwa pada umumnya masyarakat belum menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang penting. Padahal, budaya literasi sangat berperan dalam menciptakan masyarakat cerdas, yang pada gilirannya nanti akan membentuk bangsa berkualitas. Apakah ketidakpedulian tersebut disebabkan ketidakmengertian mereka terhadap persoalan literasi? Atau karena menganggap literasi tidak sepenting masalah ekonomi dan politik bangsa? Atau ada masalah lain, misalnya karena tidak suka membaca buku, tetapi sangat aktif dalam media sosial?
Sejatinya, pemerintah telah melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas kemampuan literasi masyarakat. Sosialisasi tentang pentingnya literasi, mengevaluasi berbagai permasalahan dalam upaya mewujudkan budaya literasi, serta mengembangkan beragam jenis literasi; seperti literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, dan literasi finansial, selain literasi baca tulis. Kolaborasi Kemenkominfo dengan Kemendikbud-Ristek, sebagai upaya pemerintah misalnya, menggencarkan literasi digital dengan memanfaatkan media sosial dan memasukkan literasi digital ke konsep kurikulum sekolah dasar.
Namun, dalam kenyataannya hal itu belum mampu menumbuhkan minat baca dan peningkatan budaya literasi dalam masyarakat. Karena itu, beberapa upaya harus dilaksanakan secara serentak oleh seluruh lapisan masyarakat, bahu-membahu membangun budaya literasi yang baik sesuai dengan bidang profesi masing-masing.
Budaya literasi
Salah satu hal yang utama dalam meningkatkan daya literasi kita ialah dengan membaca. Harus diakui bahwa upaya peningkatan mutu sumber daya manusia agar cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan global, yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, ialah dengan menumbuhkan masyarakat yang gemar membaca. Namun, kenyataannya masyarakat masih menganggap aktivitas membaca cuma menghabiskan waktu, bukan mengisi waktu dengan sengaja. Artinya aktivitas membaca belum menjadi kebiasaan, tapi lebih sebagai kegiatan 'iseng' saja.
Menurut Gregory A Kimbey (1975: 662) kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan. Ia bukanlah sesuatu yang alamiah dalam diri manusia, tetapi merupakan hasil proses belajar dan pengaruh pengalaman dan keadaan lingkungan sekitar. Karena itu, kebiasaan dapat dibina dan ditumbuhkembangkan. Sementara itu, membaca merupakan suatu proses komunikasi ide antara pengarang dan pembaca, dalam hal ini pembaca berusaha menginterpretasikan isi tulisan tersebut untuk memahaminya (Wijono 1981, 44). Kebiasaan membaca terjadi dengan berulang-ulang sehingga pembaca merasa nyaman karena pembacaan tersebut terjadi tanpa paksaan atau perintah.
Politik dan budaya membaca memang sepertinya tidak berhubungan. Baik para elite politik maupun masyarakat sepertinya tidak pernah peduli dengan budaya membaca. Diskusi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun kelihatan menghabiskan waktu mereka dengan lebih banyak menyentuh baik persoalan ekonomi, skandal politik, korupsi, maupun konflik berbagai kepentingan. Pun masyarakat secara umum terlibat dalam diskusi-diskusi semacam itu lewat media sosial.
Mereka sangat aktif memberi respons dan tanggapan melalui obrolan relai internet (chatting) baik dalam grup-grup WA, Facebook, ataupun Twitter. Itu selaras dengan informasi bahwa sebanyak 277,7 juta penduduk pada Januari 2022, terdapat 204,7 juta orang menggunakan internet. Artinya sebanyak 73,7% dari total populasi masyarakat ialah pengguna internet. Di sini kita dapat memahami banyak waktu yang mereka gunakan untuk tenggelam dalam kegiatan daring ketimbang membaca buku dengan saksama.
Situasi yang timpang itu pun seolah sejalan dengan perhatian pemerintah pusat dan daerah yang abai dengan persoalan dimaksud. Budaya membaca masih dinomorduakan, dianggap kurang penting dari pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Dewan Buku Nasional yang dibentuk pada masa SBY pun juga dibubarkan Pak Jokowi pada 2014 sehingga tidak ada lagi lembaga yang mengurusi perbukuan tingkat nasional.
Buku dianggap tidak penting ketimbang nasi dan roti. Pemerintahan daerah tingkat provinsi, kabupaten, dan kota juga menunjukkan sikap sama, yaitu abai terhadap pertumbuhan dan perkembagan literasi warga mereka. Mereka belum menganggarkan dana untuk perpustakaan daerah secara signifikan. Sementara itu, anggaran untuk fasilitas anggota dewan wakil rakyat--di pusat maupun daerah--terus naik secara signifikan, tak peduli kinerja mereka yang masih sangat sering mengecewakan.
Rendahnya minat baca masyarakat sangat memengaruhi kualitas bangsa. Bangsa yang kebiasaan membaca masyarakatnya masih rendah tidak bakal mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi di dunia. Bangsa dengan kebiasaan membaca telah menjadi kebutuhan mutlak dalam keseharian mereka sudah tentu jauh lebih maju. Hidup tanpa budaya membaca ibarat raga tanpa roh. Dia mati tidak bergerak, tak ada kehidupan!