08 February 2022, 05:00 WIB

Peta Kuasa Jelang Pemilu 2024


Gun Gun Heryanto Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta |

SETELAH ada kepastian penyelenggaraan Pemilu 2024 melalui kesepakatan antara DPR RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPU, dan Bawaslu pada Senin, 24 Januari 2022, jalan panjang menuju pertarungan segera terbentang. Pemilu yang akan digelar pada 14 Februari 2024 diprediksi akan semarak sejak tahapan dimulai seiring dengan tiadanya petahana.Joko Widodo (Jokowi) tak lagi bisa maju sesuai dengan amanat konstitusi yang mengharuskan adanya pembatasan dua periode kekuasaan. Semua kekuatan, baik partai politik maupun individu yang berkehendak menjadi calon presiden dan calon wakil presiden sudah intensif memanaskan mesin pemenangan, dari pusat hingga daerah. Oleh karena itu, menarik membaca peta kuasa capres/cawapres dan kekuatan parpol yang bersiap menuju gelanggang pertarungan 2024.

 

 

Peta Capres

Saat ini, sejumlah nama sudah mulai memunculkan diri dan melakukan komunikasi politik untuk memalingkan perhatian publik dan kekuatan partai politik. UU No 7/2017 tentang Pemilu eksplisit menyatakan, yang berhak mengusung capres/cawapres ialah partai dan/atau gabungan partai politik melalui syarat melampaui ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya. Dalam konteks inilah bisa dipastikan komunikasi politik akan berperan signifikan, terutama dalam menciptakan konsensus politik yang akan menjadi pijakan koalisi partai politik.

Arend Lijhart dalam bukunya, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999) menyebutkan, dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus. Tak ada jaminan sama sekali partai-partai yang saat ini berkongsi mendukung pemerintahan Jokowi akan kembali berkoalisi. Potensi jalan sendiri-sendiri sangat tinggi seiring dengan munculnya peluang untuk memperbesar keuntungan. Fragmentasi kekuatan politik inilah yang menjadikan peta kuasa pencapresan menjadi acak kembali, seiring dengan strategi tiap-tiap partai politik di Pemilu 2024.

Berdasarkan pemolaan komunikasi politik elite dalam pencapresan pemilu pascareformasi, paling tidak ada empat tipologi sosok yang akan meramaikan bursa pencapresan Pemilu 2024. Pertama, capres elite sentral, yakni mereka yang sedari awal seolah-olah mendapat hak khusus atau ‘karpet merah’ secara organisasional untuk menjadi capres partainya masing-masing. Contohnya Prabowo Subianto, yang secara faktual pencapresannya dapat mengerek suara atau memiliki efek ekor jas (the coattail effect) pada perolehan suara partai di pemilu legislatif.

Gerindra, yang pada keikutsertaan pertama kalinya di Pemilu 2009 hanya memperoleh 4,5% suara nasional atau 26 kursi di DPR RI, melonjak di Pemilu 2014 dengan memperoleh 11,81 suara nasional atau 73 kursi di DPR RI. Suara Gerindra kembali naik di Pemilu 2019 menjadi 13,57% dengan perolehan 78 kursi DPR RI di peringkat ketiga di bawah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Pencapresan Prabowo menjadi faktor signifikan dalam kenaikan perolehan suara Gerindra tersebut. Dengan begitu, hampir dipastikan Gerindra akan mengulang hal yang sama di Pemilu 2024, dengan tetap memajukan Prabowo Subianto sebagai capres.

Tipologi elite sentral juga melekat pada Puan Maharani di PDI Perjuangan, mengingat king maker pancapresan di partai itu ialah sosok Megawati Soekarnoputri yang tak lain ibunya. Hal yang mirip juga terjadi di Partai Demokrat dengan memunculkan sosok Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai garis kekuatan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Puan dan AHY sama-sama memiliki kuasa rujukan (referent power) dari orangtua mereka yang masih menjadi tokoh sentral partai.

Penguasaan mereka atas akses otoritatif di internal partai mengharuskan elite-elite lain memberi legitimasi pada keinginan dan keputusan elite sentral ini. Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya, The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998), batasan afiliatif berarti anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak. Pengaruh dominan Megawati di PDI Perjuangan, Prabowo di Gerindra, SBY di Demokrat sangatlah kuat dan menentukan arah keputusan partai masing-masing.

Kedua, capres asosiasional, yakni figur yang lahir dari suatu mekanisme organisasional dan biasanya akan sangat terhubung erat dengan mekanisme pencapresan yang diselenggarakan partai pengusung. Dalam konteks ini, upaya pemunculan nama Airlangga Hartarto oleh Partai Golkar dan penyebutan beberapa nama sosok oleh Partai NasDem menjadikan gambaran strategi partai untuk memosisikan diri mengerek sosok yang bisa terasosiasi dengan partainya.

Meskipun Airlangga Hartarto menjabat Ketua Umum Partai Golkar, faksi di tubuh Golkar itu banyak sekali, yang belum tentu solid semua mendukung dirinya di internal. Akan tetapi, Golkar sebagai partai berpengalaman juga tentu menyadari, ketiadaan sosok yang maju di pencapresan membuat perolehan suara mereka di pemilu legislatif stagnan. Kareana itu, nama Airlangga akan tetap didorong menjadi sosok potensial untuk dipasangkan, baik sebagai capres maupun cawapres. Partai NasDem juga melihat polanya selalu terdepan dalam memutuskan mekanisme internal capres mereka. Terbukti dari kepiawaian NasDem mendaklarasikan dukungan lebih awal kepada Jokowi di Pemilu 2014 dan 2019.

Ketiga, sosok capres figur kontesktual. Maksudnya ialah capres potensial yang memiliki daya tarik karena kerap kali bersentuhan dengan berbagai dinamika kekinian. Rekam jejak mereka menjadi arus utama pusaran opini baik di media massa, media sosial, maupun legitimasi berbagai lembaga survei opini publik karena prospek tingkat keterkenalan, tingkat penerimaan, serta tingkat keterpilihannya tinggi. Sosok seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil merupakan contoh sosok figur kontekstual yang tak bisa diabaikan.

Posisi mereka berpotensi maju ke gelanggang jika mampu melampaui beberapa rintangan. Seperti adanya parpol yang bersedia mengusung, terhindar dari masalah hukum dari berbagai jeratan yang mengintainya saat mereka di jabatannya saat ini, serta tetap mampu mengelola opini publik dan manajemen konflik.

Keempat, capres periferal, yakni sosok pinggiran yang ‘jeblok’ dalam perangkingan persepsi publik, juga tak memiliki basis kuat di kantong-kantong pemilih. Kemunculan mereka hanya karena ambisi atau rasa percaya diri saja.

 

 

Kuasa parpol

Marketing politik partai politik jelang Pemilu 2024 tentu saja diarahkan pada dua hal, yaitu perolehan suara dan efektivitas power mereka. Gary A Mauser dalam bukunya, Political Marketing: An Approach to Campaign Strategy (1983) mendefinisikan, pemasaran politik sebagai upaya memengaruhi perilaku massa dalam situasi kompetitif.

Ada tiga faktor utama yang akan menjadi penentu efektivitas keberadaan mereka sebagai kontestan Pemilu 2024. Pertama, sosok yang menjadi magnet elektoral. Sejarah beberapa pemilu kita pascareformasi menunjukkan, kehadiran sosok ada yang memiliki efek ekor jas sangat kuat untuk mengerek suara partai. Misalnya kehadiran SBY bagi Partai Demokrat di Pemilu 2009. Kehadiran Jokowi bagi PDI Perjuangan, dan Prabowo bagi Gerindra di Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Sosok yang memiliki daya tarik elektoral juga harus memancar dari sosok caleg-caleg mereka di dapil masing-masing.

Kedua, pengelolaan basis konstituen melalui kerja nyata yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kerja nyata, penguasaan data pemilih, zonasi daerah pemilihan, serta ragam strategi stimulan yang tepat guna akan menjadi pembeda. Partai harus pandai mengelola pendekatan dari berbasis produk (product oriented party) ke orientasi pasar (market oriented party). Inilah yang dikenal sebagai penguasaan teritorial medan pertarungan dalam pemasaran politik.

Ketiga, mengelola opini publik dengan menciptakan sentimen positif, serta menghindari dan mengontrol risiko kerusakan (demage control) dari hal-hal negatif yang bisa merusak kuasa mereka melalui manajemen isu dan konflik.

 

BERITA TERKAIT