12 January 2022, 22:10 WIB

Sistem Kedokteran Indonesia Butuh Terobosan Baru


Luther Lie, praktisi hukum berbasis di Jakarta dan Ketua Indonesian Center for Law, Economics and Business |

SETIAP tahun, hampir dua juta orang Indonesia berwisata ke mancanegara untuk memperoleh pengobatan. Akibatnya, negara kehilangan pendapatan senilai Rp97 triliun. Presiden Joko Widodo menyampaikan hal ini sebagai alasan dibangunnya Bali International Hospital pada pekan lalu dalam pidatonya saat peletakan batu pertama (27/12/2021). 

Harapannya tidak akan ada lagi warga negara Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, bahkan orang asing yang akan sebaliknya terbang ke Tanah Air. Ketika alat kesehatan di negeri tetangga, seperti Singapura dan Malaysia lebih canggih, dibanjiri dokter langganan, dan terbukti lewat waktu, mengapa pilih Indonesia? Lebih lanjut, apa insentif rumah sakit mitra, apalagi yang berada di kawasan Asia Tenggara, untuk mengizinkan pelanggan mereka beralih ke Bali selain mendapatkan biaya kerja sama per tahun? 

Pada hakikatnya, Indonesia memerlukan lebih dari sekadar rumah sakit internasional untuk menangkap pelancong kesehatan, baik dalam maupun luar negeri. Pertanyaan ini hendak mengusik alasan pragmatis dari dua segi, yakni transfer teknologi dan dokter yang berdaya saing, khususnya diaspora Indonesia; pertama, transfer teknologi merupakan cara mendisrupsi alur wisata kesehatan di Tanah Air dan dunia untuk datang ke Pulau Dewata. 

Kerja sama internasional itu penting, tetapi tidak akan sepenuhnya berbuah jika tidak dimaknai dengan alih daya teknologi. Kecil kemungkinan bagi rumah sakit asing yang selama ini menjadi pusat pelayanan kesehatan dunia, khususnya di kawasan yang sama, untuk mengalihkan seluruh teknologi yang dimiliki ke Bali International Hospital. Apalagi sejak pandemi saat mereka kehilangan begitu banyak pelanggan. Tindakan tersebut tentunya akan mencelakai alur kas rumah sakit asing tersebut. 

Alasan mengapa selama ini banyak orang Indonesia berobat ke luar negeri adalah ketidaktersediaan atau kurang lengkapnya atau berkembangnya alat kesehatan di dalam negeri. Jika Indonesia serius untuk menjadi pusat turisme pengobatan, diperlukan strategi untuk mengakuisi teknologi terbaru dan tercanggih di dunia medis. Hal ini akan menjadi nilai tambah bagi Rumah Sakit Internasional Bali dibandingkan dengan hospital terpandang di negara lain. Ini menjadi alasan mengapa orang akan memilih berobat di Bali dibandingkan dengan di Singapura atau Penang.

Kedua, Indonesia memerlukan anak bangsa untuk pulang melayani negeri. Pada Juli 2021, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui Indonesia kekurangan dokter. Setidaknya 700 dokter gugur karena covid-19. Persoalan ini menjadi momentum untuk dokter Indonesia lulusan luar negeri pulang kampung. Dengan pengalaman praktik mereka di mancanegara, tentunya kehadiran diaspora Indonesia ini akan membawa angin segar bagi dunia medis Tanah Air. 

Indonesia punya segudang talenta di mancanegara yang ingin kembali berbakti, tetapi karena sejubil aturan tingkat pusat, daerah, dan organisasi kedokteran membuat hal tersebut hampir mustahil– baik karena remunerasi, birokratisasi, perizinan yang dipersulit, maupun masa adaptasi yang tidak berkunjung. Jika seorang dokter sudah sukses di luar negeri tetapi ingin mengabdi untuk nusa dan bangsa, mengapa mereka justru dihambat? 

Masa transisi itu tidak mudah bagi seorang profesional yang sudah mapan. Jika seorang dokter ingin pulang kampung karena cinta negara, bukankah sudah sewajarnya Pemerintah memfasilitasi kesempatan tersebut seberat apapun oposisi internal demi kepentingan yang lebih besar, yakni kemajuan dunia medis Indonesia, kesejahteraan masyarakat, dan pendapatan negara? Jangan sampai talenta kita akhirnya berkontribusi bagi negara asing karena hambatan ini. 

Seperti kata Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir saat groundbreaking Rumah Sakit Internasional Bali, "Ini tentu kita [Indonesia] harus introspeksi diri…" Inisiasi pembangunan tersebut sangat positif, tetapi introspeksi tersebut tidak boleh berhenti sampai di tahap pembangunan rumah sakit saja. Butuh terobosan baru. 

Pemerintah dan BUMN harus memastikan kemudahan berpraktik bagi dokter diaspora Indonesia di Rumah Sakit Internasional Bali. Di Kawasan Ekonomi Khusus Kesehatan, sudah seyogianya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memperbolehkan dokter berkewarganegaraan Indonesia lulusan luar negeri yang telah memiliki izin praktik di mancanegara untuk langsung berpraktik tanpa penyesuaian apapun, layaknya seorang ekspatriat, karena sejatinya mereka adalah anak bangsa.

Dokter diaspora

Pada Agustus 2020, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mencanangkan rencana untuk mempermudah izin praktik untuk dokter berkewarganegaraan asing. Lebih dari satu tahun, wacana tersebut masih merupakan sebuah imajinasi, mengingat dokter diaspora Indonesia yang notabene sesama anak bangsa bahkan belum diterima dalam sistem kedokteran Tanah Air hanya karena cap ijazah perguruan tinggi dunia. Padahal Indonesia kekurangan dokter. 

Sudah seyogianya Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang Indonesia bertalenta global– dokter diaspora Indonesia. Di era globalisasi, terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN, kompetisi dengan talenta dunia tidak lagi dapat dielakkan. Kepulangan dokter Indonesia dari mancanegara harus dipandang bukan sebagai kompetisi tetapi justru diapresiasi luar biasa karena mereka rela meninggalkan karir yang stabil untuk mengabdi bagi negeri. 

Kehadiran dokter diaspora Indonesia akan membawa segudang pengalaman dan membuka kesempatan bertukar pikir dan bersinergi dengan, serta transfer pengetahuan dan keterampilan kepada dokter lulusan dalam negeri. Hal ini akan mendukung visi besar Pak Jokowi untuk mewujudkan sumber daya manusia yang unggul demi menyongsong Indonesia Emas pada 2045. 

Jika Pemerintah serius ingin menjadikan Bali sebagai pusat pelayanan kesehatan dunia dan memikat dua juta orang Indonesia dan juga wisatawan mancanegara, bangsa ini perlu lebih dari sekadar bangunan mewah; sistem kedokteran Tanah Air butuh terobosan baru. Sistem kesehatan tidak sebatas pelayanan tetapi juga perlu ditopang dengan pendidikan, penelitian, dan pengembangan berkualitas tinggi. 

Teknologi dan talenta global, terutama dokter diaspora Indonesia, adalah kunci jawaban untuk meningkatkan kualitas sistem kesehatan nasional. Dengan kualitas papan atas, rasa kepercayaan pasien dan citra sistem kesehatan akan terbangun seiring berjalannya waktu. Indonesia perlu lebih dari sekadar nama rumah sakit ‘internasional’ untuk menjadi tuan rumah pelayanan kesehatan kelas dunia.


Tulisan ini adalah pendapat pribadi

BERITA TERKAIT