14 December 2021, 05:00 WIB

Risiko Kematian, Mitos, dan Layanan Kesehatan Ibu Hamil


Nyoman Anita Damayanti Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga |

DI Indonesia, salah satu isu kesehatan yang masih mencemaskan ialah angka kematian ibu (AKI) yang terbilang masih tinggi. Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara dari 10 negara dengan jumlah kematian setelah persalinan (neonatal) yang tertinggi di dunia meskipun dalam 30 tahun terakhir berbagai upaya yang dikembangkan pemerintah mampu menurunkan AKI, yang pada 2020 tercatat mencapai 230 per 100 ribu kelahiran hidup.

Namun, harus diakui bahwa tren penurunan AKI di Indonesia masih berjalan sangat lambat. Bahkan di masa pandemi covid 19, kematian ibu di Jatim sangat meningkat tajam, yakni sejumlah 1.127 (orang) kematian pada Januari sampai September 2021.

Kondisi AKI di Indonesia saat ini masih jauh dari menggembirakan. Dengan penurunan AKI yang hanya 1,8%/tahun, Indonesia diperkirakan tidak akan mampu mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs), yang mematok angka 70 kematian ibu per 100 ribu penduduk. Demikian juga untuk target penurunan angka kematian bayi (AKB). Meskipun AKB pada 2020 telah mencapai 21 kematian per 100 ribu kelahiran, dengan tren penurunan yang begitu lambat, Indonesia diperkirakan tidak akan mencapai target SDGs pada 2030, sebesar 12 kematian bayi per 100 ribu kelahiran.

 

 

Pandemi covid-19

Masih tingginya kasus kematian ibu di Indonesia sudah tentu disebabkan berbagai macam faktor. Banyak kajian membuktikan terjadinya kasus kematian ibu tidak hanya disebabkan kondisi pada saat persalinan, tetapi juga berkaitan dengan fase sebelum ibu hamil, yaitu kondisi wanita usia subur yang anemia, kurang energi kalori, obesitas, mempunyai penyakit penyerta seperti tuberkulosis, dan lain-lain.

Pada saat hamil, ibu juga mengalami berbagai faktor tambahan yang mempersulit, seperti hipertensi, perdarahan, anemia, dan diabetes.

Berdasarkan data Sampling Registration System (SRS) 2018, diketahui sekitar 76% kematian ibu terjadi di fase persalinan, sedangkan pascapersalinan sebanyak 24%. Yang memprihatinkan, lebih dari 62% AKI terjadi di RS. Dengan kata lain, meskipun akses masyarakat dan ibu hamil untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan sudah cukup baik, ternyata karena sebab-sebab lain, keselamatan jiwa mereka tetap tidak bisa ditolong.

Selama pandemi covid-19, kasus kematian ibu ada indikasi makin meningkat. Berdasarkan data Direktorat Kesehatan Keluarga per 14 September 2021, tercatat 1.086 ibu meninggal dengan hasil pemeriksaan swab PCR/antigen positif. Sementara itu, menurut data Pusdatin, jumlah bayi meninggal dengan hasil swab/PCR positif tercatat 302 orang.

Ini berarti ibu dan anak menjadi salah satu bagian warga masyarakat yang rentan terserang oleh covid-19 hingga mereka meninggal dunia. Secara garis besar, faktor yang melatarbelakangi peningkatan kasus kematian ibu selama pandemi covid-19 ialah, pertama, berkaitan dengan menurunnya akses ibu-ibu hamil terhadap fasilitas layanan kesehatan.

Selama pandemi, intensitas ibu hamil memeriksakan dirin dan janin yang dikandung cenderung menurun karena puskesmas dan RS yang tutup atau ibu-ibu yang ketakutan hadir di puskesmas dan RS akibat covid-19.

Kedua, berkaitan dengan berkurangnya jumlah tenaga medis yang bertugas, baik karena harus berkonsentrasi melayani korban covid-19 maupun petugas medis yang meninggal dalam tugas akibat tertular oleh virus covid-19. Sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan, banyak petugas medis yang berisiko terpapar oleh covid-19. Itulah yang membuat layanan terhadap kebutuhan kesehatan lain, seperti kesehatan ibu-ibu hamil, menjadi berkurang.

Ketiga, berkaitan dengan program vaksinasi yang tidak segera menyasar ibu-ibu hamil sehingga ada potensi risiko terpapar oleh covid-19. Seperti dilaporkan di media massa, vaksin covid-19 bagi ibu hamil telah dimulai sejak 2 Agustus 2021. Namun, keganasan dan penyebaran virus covid-19 begitu luar biasa sehingga ketika terinfeksi oleh virus yang jahat itu, ibu-ibu hamil memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kondisi yang lebih berat, termasuk risiko kematian.

 

 

Mitos

Untuk mengurangi risiko kematian pada ibu-ibu hamil, terutama selama masa pandemi covid-19, Kementerian Kesehatan telah berusaha meningkatkan pelayanan sistem kesehatan demi menekan AKI. Selain terus memperkuat kapasitas dan kapabilitas fasilitas layanan kesehatan, mereka mengembangkan mekanisme deteksi dini terhadap potensi gangguan, atau kelainan pada kesehatan ibu hamil. Itu termasuk memperkuat upaya promotif, preventif, dan kuratif.

Apabila berbicara target, Indonesia secara agresif berkeinginan untuk menurunkan AKI menjadi 70 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada 2030. Sementara itu, berdasarkan RPJMN, Indonesia ditargetkan mampu menekan AKI menjadi 183 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada 2024. Apakah Indonesia mampu memenuhi target yang telah ditetapkan?

Lebih daripada sekadar soal medis dan perlunya terus meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi ibu-ibu hamil, salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya penanganan kasus kematian ibu hamil ialah isu tentang budaya lokal. Khususnya, masih ada mitos lokal yang bisa berdampak kontraproduktif dalam perlindungan kesehatan ibu hamil.

Dari segi medis, sejumlah faktor seperti pendarahan post partum, komplikasi kehamilan, riwayat penyakit yang diderita ibu hamil, dan sepsis memang memengaruhi risiko kematian di kalangan ibu hamil. Namun, di luar itu, masih ada sejumlah mitos tradisional yang juga berpotensi memiliki dampak negatif.

Meskipun telah memasuki era perkembangan masyarakat post-industrial, dalam berperilaku, tidak semua masyarakat bersikap rasional. Ibu-ibu hamil di wilayah perdesaan dan di perkotaan sering kali masih terkontaminasi oleh berbagai mitos dan pemali yang irasional.

Studi yang dilakukan penulis di lima wilayah puskesmas di Kota Surabaya dan lima puskesmas di Kabupaten Bojonegoro (2021) menemukan masih ada kepercayaan keliru ibu-ibu hamil, seperti pemali diperiksa di awal kehamilan karena jika hamil muda diberitahukan ke orang lain, justru akan menyebabkan keguguran.

Mitos seperti ini tentu berbahaya untuk ibu hamil dan janin yang dikandungnya karena pada dasarnya semua ibu hamil memiliki risiko akan kesakitan hingga kematian selama periode kehamilan yang dijalaninya.

CDC (Centers for Disease Control and Prevention) telah memberikan rekomendasi mengenai waktu ideal dalam melakukan deteksi dini akan risiko dan masalah di kehamilan. Skrining yang dilakukan di trimester pertama, khususnya di usia kehamilan 11- 13 minggu, dapat efektif dalam mendeteksi kecacatan pada janin.

Tes yang dilakukan di awal kehamilan ini mencakup tes darah lengkap ibu hamil serta USG. Pemeriksaan itu diharapkan dapat mendeteksi cacat lahir tertentu baik pada kelainan kromosom dan pembentukan organ janin (CDC, 2020). Apabila ibu hamil memilih tidak memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan di awal kehamilannya, kesempatan yang hilang itu akan sangat disayangkan.

BERITA TERKAIT