SERINGKALI keretakan dan bahkan kehancuran dalam relasi kehidupan terjadi dari akibat ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan lisan. Jagalah lisan. Itu karena lisan sebagai cerminan dari kematangan kepribadian seseorang.
Ada ungkapan, lisan bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang diakibatkan dari ketidakmampuan dalam menata lisan (keseleo lidah) bisa lebih banyak dan lebih sakit dibanding dengan pedang. Islam telah mengajarkan pada umatnya agar menata ucapan dan diamnya sehingga meraih keuntungan dari pembicaraan yang dilakukan dan keselamatan dari sikap diam yang diambilnya.
Rasulullah SAW mengingatkan akibat buruk dari lisan. Dari Sufyan bin Abdillah RA, ia berkata, "Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan." Beliau SAW menjawab, "Katakanlah Tuhanku adalah Allah lalu istiqamahlah." Saya berkata, "Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku?" Rasulullah SAW menunjuk lisannya sendiri dan berkata, "Ini." (HR Tirmidzi).
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka, beliau menjawab, "Dosa lisan dan kemaluan." (HR Tirmidzi). Keharusan menjaga lisan tidak sekadar menjaga hubungan baik antarsesama. Lebih dari itu, mengelola lisan merupakan refleksi iman. "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam." (HR Muslim).
Ustadz Fakhruddin Nursyam dalam bukunya Syarah Arbain Tarbawiyah, menyebutkan empat syarat perkataan yang mengandung manfaat; pertama, hendaknya perkataan itu ada tujuan yang melatarbelakanginya. Yaitu untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Perkataan seseorang yang tidak memiliki tujuan hanya akan memperlihatkan kebodohan, menyingkap aib dan kekurangannya, serta menjerumuskan dalam kesalahan dan finash.
Karenanya, perkataan seorang muslim hendaknya muncul dari pemikiran yang jernih dan memiliki tujuan yang pasti, sehingga selamat dari kesalahan dan dapat menunjukkan kecerdasan keimanannya.
Disebutkan dalam atsar, "Lisan seorang yang cerdik berada di belakang akalnya. Apabila hendak berbicara, ia kembali kepada akalnya. Jika mendatangkan keuntungan akan bicara, jika mendatangkan bahaya akan menahan diri. Sedangkan akal orang yang jahil berada di belakang lisannya, ia selalu berbicara tentang semua hal yang terpampang di depannya."
Kedua, hendaknya perkataan itu diucapkan pada tempat dan waktu yang tepat sehingga mendatangkan manfaat yang besar. Perkataan yang tidak tepat waktu dan tempat, tidak banyak mendatangkan manfaat, bahkan bisa menimbulkan bahaya dan fitnah. Karenanya, seorang muslim hendaknya memperhatikan situasi dan kondisi yang melingkupinya ketika hendak mengeluarkan suatu perkataan. Disebutkan dalam atsar, "Setiap situasi dan kondisi memiliki perkatan tersendiri."
Ketiga, hendaknya perkataan diucapkan sebatas kebutuhan. Segala sesuatu memiliki batas dan kapasitas tertentu. Perkataan yang melebihi batas dan kapasitansnya hanya mengurangi manfaat dan pengaruhnya, juga dapat menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi yang mendengarkan. Dalam atsar, "Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang meringkas pembicaraannya dan mencukupkan diri sebatas kebutuhan."
Keempat, memilih kata yang hendak diucapkan. Karena lisan adalah identitas seseorang, maka hendaknya ia memilih kata-kata yang tepat dan mengevaluasi semua perkataannya. Kepada pamannya, Abbas RA, Nabi SAW berkata, "Aku kagum dengan ketampananmu." Ia bertanya, "Apa ketampanan seseorang laki-laki, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Lisannya."
Islam memberikan tuntunan dalam berbicara agar terhindar dari hal yang tidak dinginkan. Pertama, tidak banyak bicara atau diam. Rasul SAW bersabda, "Barangsiapa yang diam pasti selamat." (HR Tirmidzi). Kedua, mengendalikan lisan dari perkataan yang tidak bermanfaat. Sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang menahan lisannya pasti Allah menutupi auratnya." (HR Ibnu Dunya).
Ketiga, berkata yang baik. Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam." (HR Muslim). Keempat, takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah ada di sisi setiap orang yang berkata, maka hendaknya takut kepada Allah, Allah mengetahui apa yang diucapkannya. Ketahuilah, bahwa setiap ucapan yang keluar dari lisan akan dicatat untuk diminta pertangggungjawaban.
Allah SWT berfirman, "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS Qaf [50]: 18). Dr Musthafa Dieb Al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, menambahkan etika orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam berbicara; pertama, seorang muslim hendaknya berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang tidak berguna itu di antaranya ghibah, namimah, dan mencela orang lain.
Kedua, tidak banyak bicara. Karena banyak bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa menjerumuskan kepada hal yang dilarang ataupun makruh. Sabda Nabi SAW, "Janganlah kalian banyak bicara yang bukan dzikir kepada Allah. Karena banyak bicara yang bukan dzikir kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang hatinya keras." (HR Tirmidzi).
Ketiga, wajib bicara ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi mungkar. Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisa. Jika setiap kita, terutama bagi para pejabat publik, dapat menata lisan dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan, olok-olokan, adu domba, dan hasutan, niscaya tidak akan ada perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.