PEREMPUAN, yang bila dirunut melalui kacamata morfologi berhubungan dengan kata ampu yang artinya menyokong, memerintah, menyangga, dan menjaga keselamatan, tidak bisa kita abaikan peranannya dalam upaya menyangga keutuhan dan kemajuan suatu bangsa.
Bahkan, di beberapa negara, misalnya di Turki, demi menyadari betapa pentingnya peranan perempuan, dalam upaya menyangga keutuhan dan kemajuan bangsanya, masyarakat Turki mempunyai cara yang lumayan unik dalam mempertahankan kemurnian perempuan-perempuan mereka. Cara itu ialah menganggap tabu apabila seorang perempuan mengikuti suaminya yang berasal dari negara lain untuk hidup di negara suaminya tersebut.
Peranan perempuan, dalam upaya menyangga keutuhan dan kemajuan suatu bangsa, jelas mutlak kita rasakan dalam berbagai lini. Dalam sebuah forum Trading Development and Gender Equality, yang berlangsung di sela Asian Development Bank Annual Meeting 2019 di Nadi, Fiji, Sabtu, 4 Mei 2019, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/ Bappenas) menyebutkan bahwa kaum perempuan ialah aset, potensi, dan investasi penting bagi Indonesia yang dapat berkontribusi secara signifikan sesuai dengan kapabilitas dan kemampuan mereka.
Peran penting perempuan bagi keutuhan bangsa
Dalam dunia ekonomi kreatif di Indonesia, persentase perempuan bahkan mencapai 53,86%. Angka itu cukup mencolok bila dibandingkan dengan komposisi industri pada umumnya, dengan pekerja perempuan hanya sekitar 37,16% dan laki-laki sebesar 62,84%. Pada 2016, perempuan yang bekerja di sektor ekonomi kreatif terhitung mencapai 9,4 juta orang.
Di sektor politik, peranan perempuan begitu jelas bisa kita rasakan. Bahkan, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, perempuan kian diberdayakan dengan ditetapkannya peraturan mengenai kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam politik.
Dalam sektor pendidikan, perempuan memiliki peranan yang teramat sangat penting. Bahkan, pendidikan pertama yang diterima seorang anak ialah dari ibunya. Ibu memiliki andil yang besar dalam melakukan pengembangan watak psikologis dan potensi anak. Hal itu disebabkan seorang ibu memiliki keterikatan batin yang kuat dengan anak.
Ada sebuah adagium yang mengatakan seorang perempuan cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas pula. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa pola didik seorang ibu akan berpengaruh dalam pola pikir anak-anaknya. Bahkan, sampai dalam hal menerapkan prinsip-prinsip kehidupan, berupa nilai-nilai penting bagi keutuhan bangsa seperti persatuan, musyawarah, dan toleransi.
Semua fakta itu memberikan jawaban cukup logis atas kalimat yang dilontarkan Presiden Pertama Indonesia Soekarno, bahwa ‘perempuan adalah tiang suatu negeri’.
Perempuan dan paham radikal
Aksi terorisme di Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021) tidak hanya mengagetkan, tapi juga mengundang keprihatinan. Mengagetkan karena aksi itu dilakukan seorang gadis yang kelihatannya lemah dan polos. Walaupun, hasil dari beberapa kajian terhadap pelibatan perempuan dalam aksi terorisme menyatakan bahwa perempuan memang lebih mudah untuk dimanfaatkan dalam jaringan terorisme, peristiwa itu tetap mengundang keprihatinan karena seorang perempuan yang dalam budaya ketimuran kita ialah lambang keanggunan dan keindahan, bahkan masih gadis pula, dengan tanpa ragu-ragu seolah melupakan hakikat dirinya. Mengacungkan senjata dan menembak ke berbagai arah di markas penjaga keamanan negara.
Sudah sewajarnya, aksi itu mengundang kecaman dari berbagai kalangan. Komisioner Komnas Perempuan Imam Nakha'i kepada wartawan, Rabu (31/3/2021), menyampaikan bahwa Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga lain di Indonesia mengutuk keras terorisme yang memanfaatkan kelompok rentan, yaitu perempuan dan anak.
Jika merunut ke belakang, aksi terorisme yang melibatkan perempuan ini sebenarnya tidak hanya terjadi kali ini. Sebelum penyerangan di Mabes Polri, pada 28 Maret 2021, sebuah bom bunuh diri dilakukan seorang perempuan bersama suaminya di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Pengamat terorisme Universitas Islam negeri (UIN) Walisongo, Najahan Musyafak, Kamis (1/4/2021), menyatakan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme ini terjadi bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.
Hal itu sudah terjadi sejak 2016, dengan peranan yang berbeda-beda. Pada 2016, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme mulai terkuak dengan keterlibatan Dian Yulia Novi sebagai pelaku bom panci di Bekasi. Setelah itu, muncul nama Ika Puspita Sari yang ikut terlibat dalam aksi bom bunuh diri di luar Jawa dan Umi Delima istri teroris Santoso di Poso.
Lalu, tidak lama setelah aksi itu, aksi terorisme yang melibatkan perempuan kembali terjadi, yaitu peledakan bom di Surabaya. Pelaku peledakan bom ialah satu keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dua anak laki-laki, dan dua anak perempuan. Belum selesai peristiwa peledakan bom di Surabaya, muncul kembali dua perempuan muda (mahasiswa dan siswa) yang merencanakan untuk menyerang kembali Mako Brimob dengan cara akan melakukan penusukan terhadap anggota kepolisian Mako Brimob.
Fakta bahwa perempuan yang seharusnya berperan penting dalam menyangga keutuhan bangsa ini ternyata sebagiannya justru terlibat dengan paham-paham radikal jelas mengundang keprihatinan dan sekaligus kekhawatiran bagi keutuhan bangsa. Leebarty Taskarina dalam bukunya, Perempuan dan Terorisme, menjelaskan persoalan terorisme yang melibatkan perempuan melahirkan beragam persoalan sosial lainnya, seperti perkawinan anak, perkawinan sirri, poligami, dan pengabaian hak dan kesehatan reproduksi perempuan, yang kesemuanya itu berujung pada menurunnya kualitas hidup perempuan. Menurunnya kualitas hidup perempuan berarti menurunnya kualitas hidup suatu bangsa.
Bila kita analisis, mengapa para perempuan mau terlibat dalam paham dan gerakan radikal? Paling tidak, ada tiga hal yang melatarbelakanginya. Pertama, rendahnya tingkat literasi, menyebabkan sebagian perempuan terbelenggu dalam pemahaman yang bias gender. Kedua, tingkat pemahaman keagamaan sebagian perempuan juga sangat dangkal sehingga mudah menerima doktrin yang keliru terkait dengan konsep ketaatan, jihad, kafir, thagut, khilafah, negara Islam, dan seterusnya. Ketiga, rasa teralienasi dan tersingkirkan dari kelompok sebagian perempuan membuat sebagian perempuan tidak punya banyak pilihan dalam hidup sehingga pilihan menjadi teroris merupakan satu-satunya pilihan.
Menyelamatkan perempuan dari jeratan paham radikal
Kenyataan pahit bahwa kaum perempuan yang merupakan harapan sekaligus salah satu tumpuan kita dalam menjaga keutuhan bangsa ini ternyata sebagiannya sudah masuk jeratan paham radikal telah menyadarkan kita tentang begitu berharganya kaum perempuan kita di satu sisi dan sekaligus telah melecut kesadaran kita untuk menyelamatkan dan melindungi kaum perempuan kita dari jeratan paham radikal di sisi lain.
Peristiwa di Makassar dan di Mabes Polri baru-baru ini telah memantik girah kita dan membangkitkan kesadaran kita tentang mendesaknya untuk dilakukan berbagai upaya preventif dan sekaligus penyelamatan kaum perempuan dari jeratan paham radikal ini secara masif, sistematis, menyeluruh, serta terintegrasi antarseluruh komponen bangsa.
Paling tidak, ada empat hal yang penulis usulkan guna melakukan penyelamatan dan perlindungan terhadap kaum perempuan kita dari jeratan paham radikal. Pertama, perlu upaya penggalakan literasi kesadaran perempuan agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh doktrin ideologi patriarki dan interpretasi radikal dalam suatu agama.
Hal ini menjadi sangat penting karena literasi kesadaran akan begitu negatifnya dampak doktrin ideologi patriarki dan interpretasi radikal dalam suatu agama akan memberikan physiological immunity kepada kaum perempuan sehingga iming-iming surga dan calon pengantin surga tidak akan mampu menjerat mereka.
Kedua, perlunya upaya penyadaran secara masif dan terintegrasi kepada seluruh komponen bangsa, khususnya kaum perempuan, bahwa interpretasi keagamaan yang eksklusif hanya akan melahirkan sikap dan perilaku intoleran yang membuat sebagian perempuan dipenuhi rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang yang berbeda.
Upaya ini merupakan internal shield, yang dengannya kaum perempuan kita secara otomatis mampu menangkal segala bentuk pendekatan kaum radikalis, baik dalam bentuk direct verbal maupun literasi.
Ketiga, diperlukan adanya upaya counter penafsiran sehingga interpretasi agama yang sejuk, human, dan toleran menjadi dominan di masyarakat. Upaya sosialisasi penafsiran yang inklusif ini perlu dilakukan sejak dari pendidikan usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi dan melalui berbagai media baik media elektronik, media massa, dan terlebih media sosial. Upaya itu menjadi sangat penting karena sebagian perempuan secara psikologis mudah terpengaruh oleh apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat.
Oleh karena itu, perlu diadakan upaya pengembangan budaya-budaya damai dan saling menghargai sesama. Khususnya, melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga.
Terakhir dan sangat penting, negara perlu mendorong agar interpretasi agama dan pandangan ideologi yang inklusif, demokratis, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan menjadi dominan di masyarakat.