16 September 2023, 12:39 WIB

Cerita Anak Palue Ambil Air dari Uap Panas Bumi


Ignas Kunda |

BUNYI dentuman air di dua jeriken yang dibawa Mali beradu dengan suara siulan dari mulutnya saat melintasi jalan setapak desa menuju bukit batu di ujung desa di Pulau Palue, Nusa Tenggara Timur. Di kaki bukit langkah bocah laki-laki itu melambat seiring matahari mulai bergerak naik ke atas kepala saat memasuki pukul 12.00 Wita.

Sesampainya di punggung bukit, terlihat sejumlah bambu panjang dengan ujungnya bersentuhan dengan bibir jeriken yang menampung air dari uap panas bumi yang dialirkan lewat bambu. Membutuhkan waktu kurang lebih semalam atau sehari agar satu jeriken itu penuh air.

Mali kemudian memeriksa setiap jeriken yang lebih besar ukurannya dari yang ia bawa, kira-kira 20-35 liter. Ia menggoyang jeriken untuk memeriksa apakah telah terisi penuh oleh air.

Beberapa jeriken yang telah penuh akhirnya dipindahkan oleh Mali. Ia lalu menuangkan air dari jeriken yang penuh ke jeriken 5 liter yang ia bawa sampai teisi penuh agar bisa dibawa pulang ke rumah. Rasa dahaga membuat ia akhirnya menenggak air yang masih terasa hangat dari jerikennya demi membasahi kerongkongan yang telah kering karena harus mendaki bukit menuju sumber air.

Baca juga: Sebagian Sawah di Makassar Jadi Lahan Tidur akibat Kekeringan

“Saya setiap hari ambil air di sini untuk bantu orang tua. Air ini kami bisa langsung minum,” ungkap bocah bernama lengkap Yohanes Paskalis Mali itu.

Bagi Mali yang duduk di kelas 2 SMP Rokatenda, keadaan ini sudah berlangsung lama bahkan sejak dirinya masih sekolah di SD. Namun hal ini tidak membuat mereka merasa kesal dan kcewa karena kesulitan air ini namun menikmatinya karena tidak ada sumber air lain di desa mereka dan stok air hujan telah habis.

“Mau bagaimana lagi, di sini tidak ada air lain selain air ini dan air hujan,” ungkap Mali.

Keadaan serupa juga dialami siswa lain Aprianus Ersen Toka siswa kelas 1 SMP Rokatenda. Ia juga harus membantu orang tuanya dengan mengambil air di bukit penyulingan uap panas bumi. Mereka harus mendaki bukit dan menuruni lembah yang berjarak kurang lebih 1 km dari rumah mereka.

Menurut Aprianus, mereka harus menghabiskan waktu bermain mereka dengan mengambil air di sekitar lokasi penyulingan uap panas bumi dengan teman sebayanya yang juga membantu orang tuanyau untuk mendaptkan iar bersih.

“Kalau pagi kami ke sekolah tapi pulang sekolah kami datang ambil air di sini. Kami main di sini sambil jaga air,” kata Aprianus.

Hampir semua anak di Kampung Poa Nua Kaju, Desa Keso Koja menghabiskan waktu bermain mereka dengan mengambil air di lokasi penyulingan uap panas bumi. Mereka kadang bercanda ria sambil bermain di sekitar bambu-bambu yang terbetang di punggung bukit melupakan segala masalah.

Kesulitan air bersih hingga harus menggunakan air dari uap panas bumi sudah menjadi keseharian warga di Pulau Palue. Mereka harus menggunakan air dari penyulingan uap panas bumi yang dibuat sendiri dengan menggunakan bambu agar uap panas bisa berubah menjadi air yang dialirkan lewat bambu-bambu panjang yang terbentang di permukaan perbukitan. Sedikitnya ada 2 desa yang menggunakan sumber air dari penylingan uap panas bumi yakni di Kampung Poa Nua Kaju di Desa Keso Koja dan Kampung Cawalo di Desa Rokirole.

Bagi warga keadaan ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun semenjak nenek moyang mereka masih hidup. Dari para leluhurnya akhirya mereka tahu cara mendapatkan air dari uap panas bumi ini.

Baca juga: Tiga Kecamatan di Bulukumba Alami Krisis Air Bersih

Marselina Meda, salah satu warga di Kampung Dori, Desa Keso Koja mengungkapkan walau pada musim hujan, mereka tetap menggunakan air dari uap panas bumi untuk dikonsumsi karena tidak berasa dan berbau dibandingkan air lain. Dalam semalam mereka bisa mendapatkan air 30-40 liter.

Menurut Marselina untuk membuat penyulingan mereka harus menancapkan bambu ke dalam lubang di bukit batu ini lalu menyambungkannya dengan bambu panjang lain agar dapat menghasilkan tetesan air.

“Kalau musim hujan kami tetap pakai air ini (uap panas bumi) karena lebih enak. Kalau dari sumbu yang panas air ini bisa kami langsung buat kopi,” kata Marselina.

Sedangkan warga lain Vinsensius Wongga, tokoh masyarakat Pulau Palue beberapa warga lain di dekat Gunung Rokatenda, masih mengalami kekurangan air bersih karena mereka tidak bisa ke tepi pantai untuk mengambil air sumur. Pasalnya, jarak yang ditempu ke sumber air sangat jauh dan topografi yang sangat ekstrim. Beberapa desa hanya menggunakan air uap panas bumi dari gunung api Rokatenda untuk kebutuhan sehari-hari karena stok air dan sumber air sangat minim. 

“Yang penting bagi kami adalah bak penampung air hujan karena rata-rata di setiap rumah hanya profil tank plastk yang ukurannya kecil jadi lebih baik buat bak untuk setiap rumah yang besar agar persedian air hujan bisa sampai musim kemarau,” pungkas Vinsesius. (Z-6)

BERITA TERKAIT