03 February 2023, 09:15 WIB

Jalan Air Dan Uap Panas Bumi di Pulau Palue


Ignas Kunda |

TOPOGRAFI pegunungan dengan Gunung Api Rokatenda sebagai puncak tertinggi di Pulau Palue membuat pulau itu memiliki keunikan tersendiri dalam bentang alamnya. Rupanya bentang alam yang  demikian memiliki potensi dan kemudian berpengaruh pada kehidupan warganya terutama sumber air bersihnya. 

Sudah menjadi pemandangan biasa pada setiap pagi dan sore hari, beberapa ibu-ibu di kampung Cawalo, Desa Rokirole berjalan menuruni lembah menuju bambu bambu panjang yang membujur membentang dengan ujung bambu masuk jeriken.

Mereka memeriksa jeriken-jeriken yang sudah terisi penuh dengan air. Bambu–bambu panjang yang membujur serah turunan tebing sekitar 4 – 5 meter terhubung bambu vertikal yang telah diberi lubang untuk mengalirkan uap panas dari dalam tanah berbatu dan pada bambu panas itu uap panas mengalami kondensasi atau pengembunan menjadi air. 

Baca juga: Warga Kupang Serbu Beras Operasi Pasar Bulog

Orang yang datang ke sini menyebutnya bambu sadahan penyulingan uap panas bumi. Ratusan bambu terbentang di sepanjang tebing demi menunggu tetes-tetas air bersih untuk dipakai sebagai air minum utama dan terbaik di kampung ini.

Pulau Palue berada di sisi utara Pulau Flores. Butuh waktu kurang lebih 2 jam untuk sampai ke pulau itu dengan perahu motor nelayan. 

MI/Ignas Kunda--Perahu motor sebaga sarana utama penyebrangan ke Pulau Palue. 

Keganasan ombak ketika mengarungi luatan Flores menuju Pulau Palue rasanya seganas sumber air bagi sebagian warga di Pulau Palue. 

Gunung api vulkanik dengan tinggi 875 meter dari permukaan laut ini, yang terakhir meletus tahun 2013 lalu mempengaruhi kultur kehidupan warganya. 

Aktivitas vulkanisnya dalam perut Bumi membuat gunung itu menghasilkan uap panas bukan mata air walaupun ada hutan belantara di lereng-lereng gunung. 

Buah Rokatenda, warga sekitar lereng merasakan manfaat akan kesuburuan tanah dengan banyaknya tanaman kelapa, kakao, coklat dan jambu mente serta sebagian kecil kopi robusta.  Namun, tidak demikian dengan sumber mata air buat warga di sekitar lereng seperti di Kampung Cawalo, Desa Rokirole dan Poa Nua Kaju, Desa Kesokoja.  

Menurut warga, keadaan ini sudah berlangsung puluhan tahun sejak nenek moyang mereka mendiami kampung ini. 

Untuk mendapatkan air, mereka menggali tanah berbatu ini yang cukup keras sampai muncul uap panas yang cukup. Lalu mereka akan menancap bambu utama dengan terlebih dahulu menunggu seminggu agar uap panas ini bisa digunakan untuk dijadikan air bersih. Lokasi uap panas bumi persis di belakang rumah-rumah penduduk.

MI/Ignas Kunda--Ibu di Desa Lidi sedang menimba air di bak penampungan air hujan.

Bagi warga, walaupun musim hujan mereka tetap mengambil air di sumber air panas bumi ini karena dinilai lebih bersih dan tidak berasa di bandingkan air hujan.

“Kalau musim hujan begini hanya sekitar kampung di sini namun ketika musim kemarau beberapa kampung lain juga. Musim hujan kami tetap ambil air di sini. Air pakai untuk minum kalau mau taruh di termos untuk simpan kami harus masak lagi kalau hanya untuk minum langsung simpan saja tidak perlu masak. Air agak hangat enak kalu langsung minum tidak rasa apa-apa, “ ungkap Magdalena Ngole, sampil menegak air penyulingan di dalam gelas. 

Keadaan serupa juga dialami warga kampung Poa Nua Kaju di Desa Kesokoja. Namun, di desa itu, lokasi uap panas agak jauh dari rumah-rumah penduduk dan berada pada sebuah bukit kecil yang menghadap lautan dan masih terlihat puncak gunung Rokatenda. 

Setiap pagi dan sore hari, bahkan siang hari, ibu-ibu serta anak bahkan anak muda menuju perbukitan batu untuk mengambil air dari uap panas bumi. 

MI/Ignas Kunda--Ibu di Desa Lidi sedang memasak. Air hujan menjadi air utama di desa ini.

Di perbukitan ini juga terbentang bambu-bambu panjang empat sampai enam meter untuk mengembunkan uap panas bumi.

Dibutuhkan waktu kurang lebih semalam untuk dapat menampung air di jerigen dua puluh sampai tiga puluh lima liter. Pada pagi hari, mereka akan mengambil air dan menggantinya dengan jeriken baru yang nanti akan diambil nanti pada sore harinya lagi. 

“Ini air kami pakai untuk minum masak bisa 3 kali kami ambil air di sini, “ kata Lengu, salah seorang ibu berserta anaknya yang datang mengambil air di uap panas bumi ini.

Karena uap panasnya yang lebih banyak membuat debit atau tetesan air di sini lebih cepat dibandingkan di Desa Rokirole. Beberapa jeriken bahkan meluap namun tidak kunjung diambil pemiliknya. Sejumlah anak muda bahkan dapat menggunakan air di sini untuk mandi.

“Ini mandi di perbukitan di bukit batu, bukan di lembah,” kata Dongga kepada salah seorang anak muda lain yang sedang mandi.

Bagi Anggelinus Igo, di sini, mereka selalu menggunakan air uap panas bumi ini sebagai air minum utama walaupun pada musim hujan karena tidak berasa dan jernih. 

Ini merupakan sumber air minum utama walupun musim hujan telah tiba dan bak-bak penampung air hujan tersedia di setiap rumah.

“Air di sini kalau siang hari terasa lebih panas, rasanya enak sekali minum ar ini kalau sudah dingin, tidak berasa pokoknya enaklah, dibandingkan air hujan mungkin sedikit ada rasa sepat tapi ini tidak. Untuk dapat ini air, kami gali lubang sekitar lalu tunggu satu minggu untuk bisa tadah. Selama ini tidak pernah ada keluhan peyakit akibat minum air ini,” ungkap Anggelinus.

Air sumur di Desa Pesisir Palue

Bak-bak air hujan menjadi kebutuhan penting di Pulau Palue demi mengatasi kekurangan air. Air hujan menjadi sumber air utama bagi warga di dekat pesisir pantai seperti di Desa Lidi dan Maluriwu. 

Mereka harus menyiapkan bak sebesar mungkin agar air hujan bisa bertahan sampai habis musim kemarau. 

Seperti Petrus Penge, warga di kampung Wara Lo’o, Desa Lidi, menuturkan bahwa puncak musim kemarau bisa terjadi pada September yang membuat mereka kesulitan air minum bila tidak ada persedian air.

“Kalau sudah panas persedian sudah kurang maka kami ambil air di daratan (pulau Flores) dengan perahu motor, “ kata Petrus, yang juga tokoh masyarakat Desa Lidi.

Berbeda dengan desa pesisir lain seperti Desa Maluriwu. Kesulitan air akan terasa ketika  memasuki Agustus hingga Oktober karena merupakan puncak panas dan persedian air mulai menipis.

Seperti di Desa Maluriwu untuk mengantasipasi kekurangan sumber air tawar bersih mereka harus membuat sumur gorong-gorong di sungai mati bekas galian pasir. 

Sumur gorong-gorong bersusun berjumlah 16 buah dari dalam tanah atau sekitar 11 meter harus dikerjakan sendiri secara bergotong royong. 

Gorong-gorong terpasang seakan berdiri sendiri seperti sebuah pipa besar pada sebuah jurang.  Bagian sampingnya akan ditimbun lagi dengan tanah sekitar agar warga mudah untuk menimba air. 

Menurut Sebas, salah satu anak muda desa setempat, karena struktur tanah berpasir maka mereka membuat sumur dengan dinding sumur harus menggunakan gorong-gorong agar tak mudah runtuh dindingnya. 

“Awalnya ada sumur di atas kemarin namun karena ada gunung meletus maka sumurnya tertup. Ini sumur baru yang tidak senagaja ditemukan karena ada galian pasir yang sangat dalam. Maka warga bergotong royong, kumpul uang sendiri buat gorong-gorong. Semuanya swadaya satu kampung di atas malriwu. Kalau bentunya kaya gini tidak mungkin orang bisa timba air makanya setelah terpasang kami harus tutup lagi bagian samping ini, “ urai Sebas sambil menunjuk tebing pasir yang harus diturunkan agar sejajar sumur gorong-gorong.

Untuk kebutuhan air bersih ada sumur lain di wilayah pesisir namun dengan kondisi air yang payau. Namun, hal demikan tidak menjadi soal bila memasuki musim panas atau puncak kemarau karena tidak ada pilihan lain selain air yang ada di sumur ini. Bahkan warga di pegunungan atau dataran tinggi juga mengambil air di sumur ini.  

Sekertaris Camat Palue, Bernadetha Roja, mengatakan di Palue tidak ada sumber mata air tawar. Fasilitas air bersih seperti bak air belum maksimal karena kurangnya stok air ketika memasuki musim kemarau. 

Penyulingan dari uap panas bumi saat ini yang digunakan warga menjadi kearifan lokal yang sudah terpelihara sejak lama. Warga terus minum dengan pertanyaan dalam hati kandungan apa saja yang terkandung dalam uap panas bumi ini. 

“Kalau musim kemarau panjang kami kadang kekurangan air. Untuk mandi cuci mungkin ada sumur sepanjang pantai yang asin. Mungkin ada bantuan pemerintah pusat. Bisa membantu kami untuk mengubah air laut menjadi air tawar kami tentu berterima kasih sekali,” pungkasnya.

Sepuluh ribu warga di Pulau Palue hanya berharap keindahan pulau ini seiring sejalan dengan keindahan warga yang terus tersenyum menikmati pelayanan air bersih, kesehatan, pendidikan dan listrik yang memadai sebagai hak warga negara Indonesia yang selama ini masih jauh dari harapan setelah 77 tahun merdeka. (OL-1)

BERITA TERKAIT