RUDDY Sutomo awalnya tidak tahu ketika orang Jepang yang menemuinya
mengatakan satu kata, yakni unagi. Kemudian, warga Jepang yang dibawa temannya itu diajak berkeliling kepada para pengepul ikan di Desa Kaliwungu, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Jawa Tengah.
Dari situlah, akhirnya Ruddy tahu bahwa unagi ialah sidat.
"Maklum saja, saya kan orang desa, jadi tidak tahu," ungkap Ruddy sambil tertawa ketika mengingat pertemuan perdana dengan orang Jepang tersebut.
Ruddy diminta untuk mengumpulkan sidat guna dikirim ke Negeri Matahari
Terbit.
"Sungai di desa saya itu merupakan perairan yang banyak sidatnya. Semua
orang tahu kalau Kali Cibereum di sekitar muara, jumlah sidatnya cukup
banyak. Ketika itulah, saya mulai berbisnis sidat," paparnya saat berbincang dengan Media Indonesia, pada Selasa (6/12).
Pada awalnya, dia bersama dengan para nelayan lainnya mencari sidat di
perairan. Dua kali dirinya mengirim ke Jepang lewat orang yang
dikenalnya. Setiap pekan mengirim 500 kilogram (kg).
Ternyata hanya bisa dua kali, setelah itu mandek. "Berhentinya pengiriman karena ternyata orang Jepang tidak mau sidat yang langsung ditangkap dari alam. Maunya sidat budi daya," tambahnya.
Berdasarkan penuturan konsumen Jepang, papar dia, sidat yang langsung diambil dari alam berbau lumpur dan amis. Dagingnya terlalu tebal dan tidak empuk.
"Karena itu, saya mencoba untuk membudidayakan sidat. Budi daya sidat hanya bisa dilakukan dengan pembesaran saja, sebab, tidak memungkinkan untuk memijahkannya. Sidat hanya bisa memijah di laut dalam. Setelah
dewasa masuk ke sungai-sungai," jelasnya.
Pada 2010, Ruddy secara otodidak melakukan pembudidayaan. Jadi, ada
pemasok sidat ukuran glass eel. "Saya melakukan pembesaran dan membuat
pakan ala kadarnya. Dua tahun budi daya gagal. Orang Jepang yang tahu
kegagalan saya datang ke Cilacap. Ia mengambil sampel pakan sidat dan
air kolam satu botol. Sampel itu dibawa ke salah satu universitas di
Jepang untuk diteliti. Seorang profesor mengatakan bahwa tidak mungkin
dengan pakan dan kondisi air seperti itu sidat akan besar," ungkapnya.
Ahli unagi asal Jepang tersebut tertarik untuk datang ke Indonesia,
tepatnya di Cilacap. Pada akhir 2012, dia datang bersama dengan dua orang dari Kementerian Perikanan Jepang. Mereka memberikan pelatihan
cara pembuatan pakan khusus sidat dengan nilai protein tinggi.
"Saya mulai praktik pembuatan pakan sidat pada 2013. Ternyata berhasil.
Waktu itu, saya mencoba di Tasikmalaya. Bahkan, saya sampai bisa ekspor
hingga empat kontainer ke Vietnam," ujar Ruddy.
Kampung Sidat
Melihat keberhasilan pembuatan pakan, Ruddy pulang kampung. Karena
dia ingat jika Sungai Cibereum di Desa Kaliwungu merupakan habitat dari
sidat.
"Saya minta izin kepada keluarga untuk memanfaatkan sawah sebagai kolam sidat. Airnya dari Sungai Cibereum dan pakan saya buat sendiri.
Uji coba pada 2014 berhasil, sehingga makin serius untuk budi daya," lanjutnya.
Dengan kondisi yang kian baik, pada 2017, bersama warga yang melakukan upaya serupa, Ruddy disarankan untuk membentuk kelompok pembudi daya ikan (Pokdakan). Pokdakan terbentuk dan akhirnya menjadi Koperasi Sidat Bersatu sampai sekarang.
"Ada tonggak sejarah ketika Kaliwungu dijadikan sebagai Kampung Sidat," jelas Ruddy yang kini dipercaya menjadi Manajer Koperasi Sidat Bersatu.
Dalam perkembangannya, Kampung Sidat Kaliwungu merupakan kawasan proyek
percontohan yang sejalan dengan program strategis Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP). Areal setempat juga menjadi lokasi demonstrasi
pertama IFish yang merupakan proyek kerja sama antara FAO dan KKP dengan dukungan dari Global Environment Facility (GEF).
"Pada 2018, Kaliwungu dicanangkan sebagai Kampung Sidat, sehingga
mendorong produksi sidat dan diversifikasinya. Bahkan, pada 2021 kami telah mempunyai sertifikasi sidat baik dari BPOM dan halal," jelasnya.
Jika sebelumnya, produksi hanya sidat mentah yang kemudian diekspor atau untuk mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri, kini sudah menjadi produk olahan.
"Ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, jangan menjual raw
materials, tetapi olahan. Meski dalam konteks berbeda, tetapi Koperasi
Sidat Bersatu yang mengelola Kampung Sidat," katanya.
Dia mengakui bahwa pasar ekspor masih cukup berat pascapandemi covid-19. Untuk itu, koperasi fokus di dalam negeri.
"Sekarang, kami memproduksi dua jenis sidat olahan, yakni unagi kabayaki dan unagi shirayaki. Dengan anggota koperasi sebanyak 27 orang dan yang aktif 12 orang, kami mampu memproduksi sidat setiap bulannya hingga 1 ton. Pendapatannya mencapai Rp360 juta hingga Rp400 juta," ujarnya.
Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi sidat, pihaknya juga mengembangkan aplikasi pemantauan kondisi air. Hal itu
dilakukan supaya produksi sidat tetap dapat dipertahankan, bahkan
ditingkatkan.
"Pasar masih sangat terbuka. Bayangkan saja, kami diminta untuk mencukupi kebutuhan setiap bulan satu kontainer dengan jumlah 50 ton. Jelas hal tersebut membutuhkan usaha dan kerja keras," lanjut Ruddy.
Menurutnya, Koperasi Sidat Bersatu telah membuka kesempatan bagi
investor untuk ikut masuk pengembangan sidat di Kaliwungu. "Kami telah
merencanakan pembangunan 1.000 kolam pada 2023 mendatang. Ini tentu
butuh investasi dan kami mengajak para investor untuk bekerja sama.
Karena kami ingin meningkatkan produksi sidat," tambahnya.
Kearifan untuk Konservasi
Dalam beberapa kesempatan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan bahwa KKP terus mengembangkan kampung-kampung perikanan budi daya berbasis kearifan lokal di sejumlah daerah di Indonesia.
Kabupaten Cilacap merupakan salah satu daerah utama penghasil sidat di
Indonesia, dengan potensi pengembangan ekonomi masyarakat melalui
tersedianya sumber daya ikan (SDI) sidat yang secara alamiah terdapat di beberapa aliran sungainya.
Kearifan lokal diterjemahkan oleh pelaku usaha Kampung Sidat dengan
mengutamakan nilai-nilai perlindungan ekosistem dan pengelolaan
komoditas sidat secara berkelanjutan.
"Kami harus melakukan pembangunan kampung sidat secara berkelanjutan, meskipun benih sidat banyak di Cilacap. Karena jika tidak dijaga keberlanjutannya akan mengalami kelangkaan hingga kepunahan. Ujungnya kami kehilangan mata pencaharian," kata Ruddy.
Komitmen konservasi dilaksanakan dengan menyediakan 2,5% ikan sidat indukan hasil pembesaran untuk dilepas atau restocking di sungai-sungai, agar bisa melakukan pemijahan secara alami. "Sebelum
dilepasliarkan, indukan sidat itu diukur dulu dan diberi tanda supaya
ketika ditemukan oleh nelayan bisa diketahui arah
pergerakannya," ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Bidang Perikanan Budi Daya, Dinas Perikanan
Cilacap, Indarto mengatakan pihaknya mengikuti arahan dari KKP, tidak
mengizinkan ekspor benih. Untuk itu, dinas perikanan ikut melakukan
edukasi dan pemantauan.
"Di Cilacap, peringatan lainnya adalah penangkapan harus dengan alat ramah lingkungan, tidak menggunakan setrum atau racun," kata Indarto.
Upaya lainnya adalah menjaga habitat sidat, terutama di sungai-sungai
yang menjadi alur sidat dari muara hingga hulu sungai. Sebab, setelah
memijah di lautan dalam, sidat berpindah ke arah muara.
Insting sidat akan mengarah ke hulu sungai. Sidat yang besar berada di sungai, baru nanti berpindah ke laut dalam untuk memijah.
"Kearifan yang masyarakat khususnya di Kaliwungu adalah melaksanakan restocking atau pengembalian indukan ke alam," tandasnya.
KKP mendengarkan apa yang menjadi keinginan masyarakat, tetapi juga
terus mendorong supaya kekayaan biota tetap terjaga dengan melaksanakan
konservasi. Inilah gambaran ekonomi biru yang berbasis kekayaan
kelautan. (N-2)