24 November 2022, 13:20 WIB

Potret Pelelangan Ikan Pondokdadap, Malang, dari Sulitnya Akses hingga Mimpi Pelaku UMKM


Surya Sriyanti |


PANAS siang itu bagai membakar tubuh Ricky. Pria muda itu memilih melipir, berteduh di sebuah buritan truk yang parkir di Pelabuhan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap, Malang, Jawa Timur.

Berada di Jalan Sendang Biru,  Kampung Baru, Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan inilah sentra pelelangan ikan tuna terbesar di Indonesia.  

Sembari menyeruput kopi dari gelas plastik, sesekali Ricky yang sehari-harinya berprofesi sebagai sopir truk pengangkut ikan tuna dari Pelabuhan Pondokdadap, itu, bersenda gurau dengan rekan-rekannya.

“Sekarang ini sedang musim barat, banyak nelayan yang tidak melaut. Akibatnya kami hanya bisa mengirim ikan tuna ke Bali maksimal 1 ton,” kata pria berusia 32 tahun itu, Selasa (22/11).

Padahal, ujar Ricky, biasanya truknya sekali jalan ke Bali bisa mengangkut lima ton ikan tuna. Untuk mengantar ikan ke Bali yang kemudian diekspor itu, memerlukan waktu rata-rata sekitar 24 jam.

Menurut Ricky, lamanya perjalanan itu, lantaran kondisi jalur lintas selatan (JLS) yang sempit. Jalur itu hanya bisa muat  dua kendaraan kecil. Selain itu sekarang diperparah lagi akibat banjir kemarin yang membuat akses jalan dari Pelabuhan Pondokdadap ke Malang makin sulit.

“Banyak pohon tumbang jika hujan dan jalan licin,” ujar  warga asli Desa Sendang Biru itu.

Akses jalan seperti itu yang membuat pengangkutan yang biasanya memakan waktu sekitar 18 jam kini molor hingga nyaris 24 jam. Padahal jalan itu menjadi satu-satunya jalur dari pelabuhan pelelangan ikan  ke Malang, sebelum berlanjut ke Bali.

Lamanya waktu tempuh pada akhirnya berdampak pada ikan tuna yang diangkut dalam truk, karena kualitasnya menurun. “Akibatnya harganya juga akan turun,” kata Ricky.
 
Bertahun-tahun sudah hal ini terjadi. Ricky dan rekan-rekannya, para sopir pengangkut ikan berharap jalan yang menghubungkan Malang dengan tempat pelelangan ikan tempatnya mencari nafkah diperlebar.

“Sehingga kendaraan yang membawa ikan tuna untuk ekspor bisa lebih besar dan daya angkutnya banyak,” ujarnya.


Perbaikan jalan


Kepala UPT PPP Pondokdadap  Mufit Supriyanto mengakui kendala yang terjadi di lapangan akibat tidak mulusnya akses jalan darat dari Sendang Biru ke Malang.

Menurut dia kendala  yang terjadi pada saat hasil ikan melimpah di pelelangan ikan Pondokdadap adalah infrastruktur yang tidak mendukung untuk mencapai lokasi pelelangan.
 
“Saat ini hanya kendaraan kecil yang bisa mencapai tempat pelelangan,” ujar Mufid.

Menurut dia, sebagai tempat pelelangan ikan dengan skala besar, semestinya kendaraan jenis kontener bisa masuk. ”Sehingga ikan yang akan diekspor seperti tuna bisa langsung diangkut dan nilai ekonomisnya akan menjadi lebih tinggi,” tutur dia.

Jika ini terjadi, ujarnya, tentu akan berdampak pada kesejahteraan nelayan. “Kami berharap pemerintah mau memperlebar jalan sehingga kendaraan pengangkut hasil laut bisa mencapai tempat pelelangan."

Dari data UPT PPP Pondokdadap jumlah kapal milik nelayan tercatat sebanyak 649 unit. Adapun jumlah produksi ikan, seperti tuna dan cakalang, hingga November 2022 sebanyak  10.559.772 kilogram dengan nilai produksi Rp226,8 miliar.

Nilai ini lebih sedikit dibandingkan pada 2021 yang jumlah produksinya 11.250.430 kg. Namun, nilai produksi lebih rendah, yakni Rp180,9 miliar.

Menurut Mufid kendati jumlah produksi pada 2021 lebih tinggi dibandingkan pada 2022, namun untuk  nilai produksi pada 2022 lebih tinggi dari 2021.

Ini, ujar Mufid, menunjukan pola pikir nelayan mulai berubah dari yang dulunya hanya menginginkan hasil produksi banyak, sekarang berganti menginginkan nilai prosuksi yang meningkat.

“Artinya saat ini nelayan sudah menerapkan penangkapan terukur, sehingga sumber daya laut tidak dikuras besar-besaran,” katanya.


UMKM berbahan ikan


Berkurangnya ikan tuna akibat musim barat juga berdampak pada sejumlah warga yang memproduksi makanan berbahan baku ikan.

Salah satunya Edy, 30, pemilik warung penjual abon ikan tuna yang lokasinya berada di sebelah KUD Mina Jaya, Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang.
 
Kini ia tak lagi memproduksi abon tuna karena nelayan tidak melaut. “Abon tuna sudah habis karena bahan bakunya susah dicari akibat musim barat,” jelasnya.

Produksi Edy masih kelas UMKM. Sebulan ia hanya memproduksi sekitar 200 kilogram abon tuna yang kemudian ia kemasan per 100 gram dan per 200 gram. Untuk kemasan 100 gram ia menjual Rp30 ribu dan 200 gram Rp60 ribu.

Edy mengaku pembuatan abon masih dilakukan secara tradisional. “Mungkin karena itu abonnya tidak tahan lama."

Selain memproduksi abon, sejumlah warga setempat juga memproduksi makanan seperti misalnya, beragam jenis kerupuk. Namun, seperti Edy, sejumlah kendala menghadang mereka, dari permodalan, ketersediaan bahan baku hingga pemasaran.

Para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menjadi salah satu sektor ekonomi penting di wilayah ini. Produksi mereka, kendati belum maksimal, telah menyebar ke sejumlah tempat di luar daerah.

Karena itu Edy berharap pemerintah bisa memberi bantuan atau pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan produksi UMKM mereka. “Saya berharap pemerintah bisa membantu Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan pelaku industri rumahandi sini, termasuk juga memasarkannya."

Orang–orang seperti Edy ini tentu akan bersuka cita jika harapan dan mimpi–mimpi mereka terkabul. (N-2)

 

BERITA TERKAIT