PERINGATAN HUT Otonomi Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur ke-23 tahun 2022, diisi acara launching buku "Lembata Dalam Pergumulan Sejarah & Perjuangan Otonominya".
Tidak hanya meluncurkan buku monumental Karya Thomas B. Atalajar, kepanitiaan Diaspora Lembata, yang dikoordinir salah satu tokoh pejuang otonomi Lembata, Sulaiman Hamzah juga menggelar lokakarya penulisan materi ajar muatan lokal (mulok) untuk siswa Sekolah Dasar, SLTP, dan SMA.
Penulisan Buku mulok tersebut dielaborasi berdasarkan buku Lembata Dalam Pergumulan Sejarah & Perjuangan Otonominya.
Peluncuran buku tersebut menjadi kado indah bagi warga Lembata diaspora yang turut serta berpartisipasi dalam HUT ke 23 Otonomi Lembata.
Tak hanya itu, warga diaspora Lembata yang selama ini berkarya di Jakarta, Jogjakarta, Kupang dan daerah lain, berinisiatif mengajak Pemerintah Kabupaten Lembata untuk melibatkan Warga Lembata Diaspora dalam derap pembangunan di segala bidang.
Buku setebal 552 halaman, 25 bab disusun sesuai urutan kronologis tonggak sejarah Lembata yang ada.
Thomas B. Atalajar, penulis dan sejarahwan asal Lembata yang menetap di Bogor, Jawa Barat dalam konfrensi Pers yang di gelar di Hotel Palm, Lewoleba, Senin (10/10/2022), mengatakan, buku tersebut dihasilkan melalui proses penelitian selama 30 tahun, terhitung sejak 1999. Buku
tersebut telah pula melewati proses pertanggungjawaban secara akademis.
Buku tersebut direkomendasi para pakar untuk menjadi salah satu buku rujukan resmi bagi pengajaran sejarah mulok bagi generasi muda Lembata.
Meski begitu, penulis buku sejarah Jakarta itu mengakui, buku yang ditulisnya tersebut masih jauh dari sempurna. "Buku ini sengaja kita luncurkan di bulan Oktober 2022 ini, bulan lahirnya Otonomi Lembata sebagai kado untuk ulang tahun Otonomi Lembata ke-23. Selamat Ulang Tahun Otonomi Lembata," ungkap Thomas B. Atalajar.
Ia mengatakan, buku Sejarah Lembata ini tidak terlepas dari dukungan penuh tokoh pejuang otonomi Lembata yang juga Anggota DPR RI Haji Sulaeman L. Hamzah.
Monumental
Sementara itu, Anggota DPR RI asal Lembata yang terpilih menjadi anggota DPR RI dari Dapil Papua, Haji Sulaeman L. Hamzah dalam kesempatan itu mengatakan, pihaknya hadir bersama tim lengkap, mengantarkan sebuah dokumen yang monumental yakni buku "Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Otonominya".
Menurutnya buku ini menjadi alasan utama pihaknya hadir di Lembata bertepatan dengan HUT Otonomi Lembata ke 23.
"Kami datang dengan tim lengkap, mengantar dokumen monumental. Buku ini menjadi alasan utama pertemuan kita. Semata mata untuk mengisi tradisi lama yang tidak pernah dijalankan. Sebuah kerinduan kami dari rantau, ingin supaya ada komunikasi antara pemerintah daerah Kabupaten Lembata, dengan masyarakat Lembata yang ada di luar. Tetapi Selama ini tidak terjadi.
"Saya boleh berbangga bahwa ada komunikasi baik dengan pemerintahan sekarang, pemerintah membuka diri dan memberikan kesempatan kepada kami dari luar, ikut merayakan otonomi Lembata ke 23, tahun 2022," ujarnya.
Isi buku ini, 525 halaman, 25 bab. Ia menguraikan jaman prasejarah sampai otonomi ini berjalan.
"Ini karya monumental dan diharapkan apa yang disajikan di buku ini dipahami semua pihak, baik para penyelenggara pemerintahan, politisi, dan seluruh masyarakat Lembata. Karena adat dan budaya kita sebenarnya tidak seperti terjadi selama kurang lebih 23 tahun lalu. Rasanya ada sesuatu yang hilang dari tradisi Lembata dan spirit dari pejuang otonomi, 7 Maret tahun 1954. Rohnya boleh dikatakan semakin hari semakin hilang," papar Sulaiman L. Hamzah.
Dalam buku ini, seluruh rakyat termasuk generasi muda Lembata harus tau sejarahnya sendiri agar tidak tercerabut dari akar menjadi jati diri anak Lembata.
Tiga Hal Penting
Sementara itu, Dr. Yoseph Yapi Taum, Sastrawan dan Dosen senior pada Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, penulis Epilog dalam Buku, sekaligus pembedah buku ini mengatakan, ada tiga catatan penting tentang buku ini sebagai penanda penting bahwa Lembata memasuki fase historis.
"Selama ini sejarah Lembata itu dituturkan secara lisan. Belum ada tulisan merepresentasi sejarah Lembata secara akademis," ujar Doktor Yosep Yapi Taum.
Ia menyebut, karya penulis buku ini, Thomas Atalajar diakui di berbagai tempat. Sejarah Jakarta, sejarah Kepulauan seribu. Buku yang ditulisnya manjadi buku wajib.
Buku Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Otonominya, diharapkan menjadi official history Lembata. Karena yang beredar adalah sejarah lisan dengan versi yang berbeda-beda. Buku ini menjadi penanda Lembata masuki fase historis. Ini penting sekali untuk menjawab pertanyaan
eksistensial, apakah lembata punya sejarah? Mana sejarahnya? Jangan sampai sejarah itu menurut versi orang per orang dan berbeda beda.
Hal kedua, kalau membaca buku ini dari awal sampai akhir, ada 10 tonggak sejarah penting Lembata dari jaman prasejarah sampai jaman setelah otonomi ini.
Catatan pentingnya adalah, Seluruh rakyat Lembata berjuang dengan cara masing masing, terutama karena alasan luka sejarah yang sangat panjang, fragmentasi rakyat, saya menyebutnya sebagai luka Swapraja. Karena Lembata ini terbagi dua yakni Swapraja Larantuka , Swapraja Adonara,
kelompok Paji dan kelompok Demong.
Seluruh rakyat Lembata, sepakat bahwa pembagian itu tidak menguntungkan, lebih menguntungkan penjajah. Tidak ada keuntungan apapun sehingga semua orang Lembata dengan kontribusinya masing masing berjuang untuk otonomi Lembata. Dan buku ini diharapkan menjadi buku sejarah resmi.
Hal berikut saya mau sampaikan, menerbitkan buku saja tidak cukup. Ada dokumen tetapi literasi masyarakat belum terlalu bagus. Membaca buku saja tidak cukup apalagi buku setebal 525 halaman.
Maka kita memikirkan bagian bagian penting dalam buku ini diajarkan di sekolah-sekolah. Lantaran itu, pada 14-15 Oktober ada pelatihan penyusunan materi muatan lokal, antara lain, tentang Sejarah dan Budaya Lembata, kemudian ada sejarah Pariwisata, permainan dan tarian rakyat Lembata, dan tentang Bahasa dan sastra Lembata.
Ini juga menjadi satu hal yang debatable, karena Lembata ini ada banyak bahasa, dan tidak ada satu bahasapun yang dianggap sebagai official language. Semua bahasa itu sama, tidak ada satu bahasapun di Lembata dianggap lebih tinggi.
"Bahasa dan sastra Lembata seperti apa juga menjadi pertanyaan besar. Nanti kita akan jawab dalam pertemuan diaspora dan acara pelatihan penulisan mulok," ungkap Doktor Yosep Yapi Taum.
Terakhir, ia mengatakan, dokumen saja tidak cukup. Ada dokumen ada monumen, supaya kita bisa merunut jejak sejarah. Karena itu buku ini secara adat budaya diluncurkan pertama kali di Desa Hadakewa.
"Hadakewa dahulu kala adalah pusat pemerintahan, mungkin generasi muda sekarang tidak tau dan tidak ada jejaknya. Kita butuh monumen di sana agar anak anak bisa diterangkan tentang Hadakewa jaman kolonial, jaman Swapraja. Pejuang otonomi dikenang melalui nama jalan, bandara dll.," Ungkap Doktor Yapi Taum. (OL-13)
Baca Juga: Jumlah Daftar Pemilih Di Sumsel Berkurang