RABU (9/2/2022) petang, Puluhan warga memenuhi bangku kayu yang disediakan di Namang, tempat pertemuan Desa. Warga menyimak saat Kepala Desa Ataili, Kecamatan Wulandoni, Kebupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Alexander Ligar Bakior mulai membuka rapat bersama warga setempat.
Kades terpilih tahun 2022 itu mengajak warga termasuk para sesepuh desa, mereview peristiwa bersejarah, ritual "Pau Paraw" dan pembangunan Captering perdana tahun 1982 dari mata air Sebolo.
Mata air Sebolo yang terletak di wilayah hutan tutupan desa itu, menyuplai kebutuhan air bersih bagi warga desa. Hutan di sekitar mata air pun terbilang perawan.
Ajakan mereview proses ritual adat Pau Paraw di Mata air Sebolo oleh Kades Alexander Ligar Bakior itu bukan tanpa alasan. Sumber air Sebolo pernah menyuplai air minum hingga ke Desa Atakera, sekitar 3 km dari Desa Ataili.
Pada 1982 atau 40 tahun silam, Ataili dikenal memiliki sumber air berlimpah. Namun sejak 2008, sejak menjadi desa devenitif, warga setempat kerap mengeluh kekurangan air bersih. Padahal, Mata air Sebolo kini hanya memasok kebutuhan air bersih bagi lebih dari 300 orang, total warga Desa Ataili.
Kepala Desa Ataili, Alexander Ligar Bakior menyebut, menurut tradisi adat setempat, perlu digelar ritual adat "Pau Paraw" (memberi makan leluhur) di sumber air minum Sebolo.
Dipercaya, ritual Pau Paraw kepada leluhur, mampu meningkatkan debit air di Sebolo, jika dilakukan dengan ikhlas dan dengan cara yang benar.
"Kita sudah sering menjalankan ritual adat Pau Paraw di Mata air Sebolo. Namun sejak 1982, ada yang hilang dalam ritual itu," ujar Kepala Desa Ataili, Alexander Ligar Bakior.
Ia menjelaskan, pada tahun 1982, Ataili masih menjadi salah satu Dusun dari Desa Atakera. Ataili kala itu bernama Dusun Kia Satel. Pembangunan kaptering di sumber air minum Sebolo dilakukan pada saat Desa Atakera dipimpin Kepala Desanya, Lukas Tupeng Blikololong. Sedangkan Dusun Kia Satel (Ataili saat ini-red) tahun 1982 dipimpin Pamong, Ignasius Ola Witin.
Bak Kaptering berukuran lumayan besar berhasil dibangun di Sebolo tahun 1982. Jaringan pipa juga dibangun hingga ke Desa Atakera. Semuanya berkat bantuan Pastor Arnoldus DuPont, SVD, pastor Paroki Lamalera saat itu.
Air bersih pun melimpah ruah setelah digelar ritual "Pau Paraw" perdana. Sumber air ini sanggup memenuhi kebutuhan air bersih di seluruh Wilayah desa Atakera.
Ironisnya, sejak Ataili mekar menjadi Desa sendiri tahun 2008, suplai air bersih dari sumber air bersih Sebolo menuju desa induknya, Desa Atakera, dihentikan karena kekurangan debit air.
Bahkan, kata Alex, sejak tahun 2008, pasokan air ke Desa Atakera dihentikan, karena air kurang. "Jaringan Pipa bantuan Pater Dupont dibongkar, kemudian dibagi dua. Orang Mulankera (sebutan bagi warga Desa Atakera-red) bawa pulang pipanya, sedangkan sisanya dibagi kepada Desa Ataili," ujar Kades Ataili, Alexander Ligar.
Disebutkan, pasokan air bersih ke Desa Atakera dipindahkan ke mata air Borot Topo, wilayah administratif Desa Leworaja. Perpindahan suplai air bersih ke desa Atakera sendiri terjadi pada saat Stanis Enga Namang menjadi Kades Atakera. Sekutu Tuan Tanah dan Pemilik Air Untuk Sumber air Sebolo
Desa Ataili beruntung masih memiliki sesepuh, mantan Pamong Dusun Kia Satel tahun 1982, Ignasius Ola Witin. Meski raganya termakan usia, ia masih nampak bugar.
Penuturan peristiwa bersejarah 40 tahun silam dalam kesempatan rapat bersama, Rabu (9/2/2022) petang tentang Ritual Pau Paraw juga dibenarkan pula beberapa tokoh yang turut serta dalam ritual Pau Paraw kala itu yakni Lasarus Igo Atun dan Apolonaris Nusa Ilin.
Dari penuturannya, pemerintah dan seluruh warga Desa berikhtiar mengembalikan tradisi yang hilang. Ritual "Pau Paraw" di mata air Sebolo kala itu berlangsung selama dua hari.
"Bapa Pater Dupont minta cari tenaga teknis agar air dari sumber air Sebolo bisa masuk kampung. Saat itu, Frans Pelan Buran, masih bertugas di Karangora. Ia diminta mengajak seorang yang namanya, Leo yang mengerti teknis instalasi jaringan pipa. Kami kemudian sama-sama ke mata air Sebolo untuk survei. Setelah survei, Leo memastikan, air bisa masuk kampung. Informasi ini kami teruskan kepada Pater Dupont," ujar Ignasius Ola Witin.
Atas bantuan pipa oleh Pastor Dupont, pastor misionaris asal Belanda), warga Desa Atakera bersama warga Dusun Kia Satel (nama Ataili kala itu), mulai membangun Kaptering.
Mantan Pamong Desa Atakera, Dusun Kia Satel (Desa Ataili saat ini), Ignasius Ola Witin, menyatakan, ada empat komponen suku wajib hadir saat menggelar ritual adat di Mata air Sebolo yakni, Lewotanah alap atau pemilik kampung, suku Ilin dan Wai Alap (suku pemilik air) yakni, suku Taumor, Ingan dan Uden.
Sebelum seremoni, empat komponen suku ini duduk bersama di rumah Lewotanah yakni suku Ilin. Semua perlengkapan seremoni seperti Ayam satu ekor, ketupat, tuak, sirih pinang, di simpan dulu di rumah tuan tanah satu malam. Bagun pagi baru seremoni di Mata air.
Seremoni kita bawa babi satu, ketupat, tuak, sirih pinang. Lewotanah yang Prat amet (berbicara dengan leluhur) di mata air.
"Jadi komponen 4 suku tidak bisa ditinggalkan sampai air masuk kampung. Kalau Masi ada salah satu di luar 4 suku ini maka seremonial tidak bisa dilakukan," ujar Ignasius Ola Witin.
Setelah itu, lanjutnya, semua termasuk orang dari Atakera, dipimpin Kepala Desa, Lukas Tupeng Blikololong duduk satu malam di mata air.
"kami bawa serta jagung titi, ubi kayu, ketupat, tuak dengan satu ekor babi. Kami tidak tidur. Namang (nyanyian tradisional-red) tak henti hentinya dilantunkan penuh harapan agar air bisa masuk kampung. Makanan itu disantap sampai pagi hari. Bangun pagi, babi dipotong, peserta makan ketupat," ujar Ignasius.
Saat menyanyikan Namang, para tetua memanggil nama arwah para leluhur pemilik air semalam suntuk. Ritual di lakukan suku Lewotanah, sedangkan tiga suku pemilik air mendampingi.
Usai ritual, mulai "Namang" lagi, semua peserta kembali dengan berjalan kaki dari mata air, sampai ke rumah Tuan Tanah suku Ilin.
"Saat kami masih dalam perjalanan, orang di kampung bilang "mereka" sudah datang, artinya, nyanyian masih jauh dari atas, tetapi leluhur sudah duluan sampai ke kampung," ujar Ignasius.
Setelah itu kita cari tukang untuk buat Kaptering di mata air. Kami ke lokasi untuk peletakan batu pertama juga satu ekor Babi.
Sedang buat Kaptering, pipa juga mulai dipasang. Warga mengumpulkan beras, jagung dan ikan untuk memberi makan tukang orang Lamalera yang pasang pipa.
Saat itu semua warga merindukan air masuk kampung, jadi semua warga tidak ada yang melawan. Kisah serupa disampaikan oleh Lasarus Igo Atun dan Apolonaris Nusa Ilin.
Ritual Pau Paraw Di Mata Air Sebolo
"Jadi, setelah Bak Kaptering selesai dan pipa sudah dipasang, air tidak keluar. Bapa Kepala Lukas bilang, bapa Pamong, ini musti engkau Kembali ke kampung dulu. Saya pulang kumpulkan empat komponen (suku Lewotanah dan Suku pemilik air). Atur lagi satu ekor ayam, untuk buat seremoni lagi di mata air, baru air akhirnya bisa keluar," ujar Ignasius Ola Witin.
Di forum tersebut muncul pula perbedaan penuturan tentang siapa yang diajak Ignasius Ola Witin, mantan Pamong Desa Ataili, saat air yang sudah di tampung namun tidak dapat mengalir keluar melalui saluran pipa. Namun perbedaan versi tersebut dibantah oleh Ignasius Ola Witin.
"Apa yang saya alami saat itu, saya ceritakan kembali dan sudah seperti itu," ujar Ignasius Ola Witin.
Sementara, menurut Marselinus Ilin, suku tuan tanah, ritual di mata air Sebolo sejak Ataili menjadi Desa devenitif, hanya dilakukan oleh suku tuan tanah. Pemerintah desa kala itu tidak melibatkan tiga suku pemilik air.
Kepala Desa Ataili, Alexander Ligar Bakior menegaskan, ritual adat di mata air Sebolo harus dikembalikan pada tradisi yang mempersatukan.
"Mari kita saling menghargai. Dengan saling menghargai hak-hak warga, kita turut menciptakan keharmonisan dan kedamaian. Kita yakin, jika ada kedamaian antar sesama manusia, alam dan leluhur, saya yakin alam dan leluhur akan sayang kita," ujar Kades Ataili, Alexander Ligar Bakior. (OL-13)
Baca Juga: Polisi Gali Dua Kuburan Korban Kerangkeng Manusia di Langkat