06 February 2022, 15:50 WIB

Meraup Rezeki Kopi dan Batik dari Gunung Argopuro


Bagus Suryo |

AINUN Najib dan Muhammad Faisol membagi tugas menggiling dan menyajikan kopi. Keduanya beraktivitas bersama barista, Achmat Dani. Mereka sumringah, kesibukan melayani pelanggan di objek wisata Pantai Bohay, Probolinggo, Jawa Timur, membuat rezeki mengalir tiada henti.

Setelah daerah setempat PPKM Level 1, aktivitas ekonomi mulai tumbuh. Mereka juga mengelola kafe Lang Baling di Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kraksaan, Probolinggo. "Kami bersyukur, usaha mulai bangkit dan ekonomi bertumbuh," tegas Achmat Dani kepada Media Indonesia, Jumat (4/2).

Kedai kopi itu menyatu dengan gerai batik unggulan bermotif khas buah anggur, mangga, bawang merah dan Gunung Bromo. Perajin batik pun turut kecipratan rezeki.

Khairunnisak, pembatik asosiasi perajin batik bordir dan aksesoris Kabupaten Probolinggo menyatakan dagangan batiknya laris. Pembeli demen motif batik tulis menggunakan pewarna alami. "Batik warna alami dijual Rp450 ribu-Rp750 ribu dan batik warna sintetis Rp250 ribu per potong," katanya.

Ia menjual batik bersama pemuda desa yang mengelola kafe. Siang itu, para petani kopi meracik sejumlah varian rasa dan aroma minuman caramel, hazelnut, banana, vanilla, original dan wine. Konsumen berdatangan selain membeli batik juga menginginkan kopi latte memadukan espresso dan susu yang disajikan panas maupun dingin seharga Rp12 ribu.

Kesibukan dalam melayani konsumen ini berbeda ketimbang tahun sebelumnya. Saat itu, pandemi covid-19 memaksa pembatasan semua aktivitas membuat bisnis kopi dan batik sempat anjlok. Objek wisata pun tutup, pelaku UMKM ikut terkena imbasnya.

Namun, pemuda Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, tak begitu saja menyerah. Mereka mengembangkan bisnis kopi dan batik secara daring di marketplace. Pasar daring membuat usaha mereka tetap berdaya.

Petani kopi bersyukur, usaha mereka terus bergerak ketika pasar luring sedang mandek. Pesanan kopi green coffee beans atau biji kopi mentah sampai bubuk kemasan terus mengalir dari Jawa Barat dan Kalimantan selain Probolinggo dan sejumlah kabupaten/kota di Jatim. Konsumen menggemari kopi lereng Gunung Argopuro karena memiliki cita rasa dan aroma yang khas. Kini, biji kopi pilihan berkualitas itu bisa dinikmati di semua daerah.

Ramah lingkungan
Ada yang menarik dari usaha kopi itu. Pengolahan kopi memanfaatkan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) bantuan PT PJB melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) Unit Pembangkitan Paiton.

Menurut Ketua Kelompok Masyarakat Tirta Pijar Sumber Makmur Desa Andungbiru, Muhammad Rasid, total panen kopi mencapai 145,6 ton robusta dan arabika. Ia memiliki 4 ha kopi robusta dan 2 ha kopi arabika menghasilkan 5 ton-6 ton per ha. Semula petani menjual kopi gelondong Rp7 ribu per kg. Lalu, usaha dikembangkan dengan mengolah menjadi green beans sampai mendirikan kafe.

"Harga kopi gelondong hanya Rp7 ribu, tapi menjual green beans robusta lebih menguntungkan dihargai Rp30 ribu dan arabika Rp50 ribu per kg, kopi bubuk kemasan Rp75 ribu-Rp100 ribu," ungkapnya.

Seluruh proses pengolahan kopi pun ramah lingkungan. PJB membantu inovasi pembuatan trichokompos, penjemuran kopi komunal dan strategi pemasaran. Inovasi itu meningkatkan penjualan kopi masa pandemi covid-19.

Trichokompos merupakan pupuk organik dari bahan limbah kulit kopi. Pupuk organik itu solusi atas melonjaknya harga pupuk kimia. Kini, petani memproduksi pupuk secara mandiri dengan kapasitas produksi 500 kg pupuk trichokompos atau setara dengan Rp340 per kg dengan biaya hanya Rp170 ribu. Pupuk itu jauh lebih murah ketimbang pupuk kimia Rp3.400 per kg.

Selain inovasi trichokompos, PJB membantu petani meningkatkan kualitas pengolahan biji kopi melalui lahan jemur komunal dari paving block berbahan sisa dari hasil pembakaran batubara atau fly ash bottom ash (FABA) PLTU Paiton. Lahan dan rak jemur itu meningkatkan kualitas pengeringan optimal. Terobosan itu meningkatkan kualitas dan harga kopi juga ramah lingkungan tanpa harus menambah lahan dengan menebang pohon. "Rak jemur kopi miningkatkan rasa dan aroma," ujar Muhammad Rasid.

Melalui pemasaran daring dan keberadaan kedai kopi kekinian, pelanggan kian banyak terutama konsumen generasi milenial. Sebab, mereka menghadirkan berbagai varian menu dari perpaduan cita rasa dan aroma jenis kopi arabika colombia maupun kopi brasil.

Terobosan inovasi itu berhasil mendongkrak penjualan yang imbasnya meningkatkan pendapatan petani. Semula hanya mampu menjual 60 kg per bulan pada awal pandemi, kini setiap pekan menjual 1 kuintal kopi sesuai pesanan.

Proses roasting kopi pun tanpa bahan bakar minyak. Proses sangrai atau pemanggangan menggunakan listrik dari PLTMH.

Listrik murah
Di Desa Andungbiru ada tiga PLTMH, yaitu milik warga, bantuan PJB dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Listrik selain menggerakkan ekonomi warga, juga menerangi desa sekitarnya di lereng Gunung Argopuro. Tarif listriknya hanya Rp500 per kwh, itu pun warga bisa bayar rekening dengan hewan ternak dan hasil panen pertanian.

Di desa itu, kebiasaan warga bayar listrik dengan bebek, ayam, beras, padi dan jagung. Pasang baru listrik pun boleh hutang, bayarnya bisa musiman dan bulanan saat panen.

Sejak 2013, warga membangun PLTMH dengan kincir sederhana berbahan galon air mineral di Sungai Pekalen. Listriknya melayani 35 warga. Lalu, PJB dan PGN pada 2016-2017 membantu membangunkan PLTMH sehingga manfaat listrik kian meluas. Kini, pelanggan listrik sudah mencapai 575-600 sambungan rumah. Fasilitas umum pun terang benderang teraliri listrik dari semula gelap gilita saban malam hari.

"Kelompok masyarakat mengelola listriknya, rekening sesuai meteran, pasang baru bisa hutang atau bayar langsung. PLTMH PJB mengcover 200 warga, PGN 135 warga, sisanya dilayani dari PLTMH mandiri milik masyarakat," imbuh Rasid.

Sementara itu Staf Humas dan CSR PJB UP Paiton Rendi Diawangsa menyatakan kapasitas terpasang PLTMH sebesar 120 KW dari semula 40 KW. Listriknya melayani Desa Andungbiru dan sejumlah desa sekitarnya. "Aliran listrik PLTMH lebih stabil karena desa berada di lereng gunung," tuturnya.

Pandemi covid-19 bukan akhir dari usaha produktif. Nyatanya, petani kopi dan pembatik di lereng Gunung Argopuro bisa berdaya, mereka tetap bersemangat dengan mengembangkan usaha untuk memulihkan ekonomi. (Bagus Suryo/OL-10)
 

BERITA TERKAIT