30 April 2021, 19:35 WIB

Akademisi Persoalkan Kompetensi Absolut Pengadilan Tipikor Manado


Voucke Lontaan |


KOMPETENSI absolut Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi jadi bahan dialog sejumlah akademisi Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara.

Istilah kompetensi absolut itu dilontarkan AMP alias aye, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek pemecah ombak di Desa Likupang, Kabupaten Minahasa Utara.

"Eksepsi terdakwa AMP alias Aye sangat menarik untuk dibedah. Yang menarik, terdakwa mempertanyakan kompetensi absolut Pengadilan Tipikor Manado dalam menyidangkan perkara tersebut," ujar akademisi Fakultas Hukum (FH) Unsrat Manado, Toar Palilingan, Jumat (30/4).

Toar yang juga Wakil Dekan FH Unsrat Manado mengakui nota keberatan yang diajukan terdakwa sangat menarik dalam aspek hukum. Pertanyaan yang diajukan terkait kompetensi absolut pengadilan ialah status pekerjaan proyek yang membuat AMP ditetapkan sebagai terdakwa.

"Setelah mengikuti jalannya persidangan perkara  AMP lewat eksepsi atau nota keberatan yang bersangkutan sebagai terdakwa mempertanyakan kompetensi absolut Pengadilan Tipikor Manado," jelasnya.

Di antaranya, terdakwa mengungkapkan pekerjaan proyek tersebut belum selesai. Sementara dalam dalam persidangan seharusnya ada bukti nyata kerugian negara.

"Seharusnya kerugian negara itu baru bisa diketahui setelah proyek bernilai Rp15,2 miliar itu selesai dikerjakan dan diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara," jelasnya.

Dengan begitu, papar Toar, bisa dijadikan alat bukti atau fakta dalam persidangan. "Saya menilai hal ini dari aspek hukum ya," tegasnya.

Fakta itu menjadi diskusi menarik kalangan akademisi FH Unsrat. Argumen yang dibangun terdakwa dalam eksepsinya menunjukkan bahwa ada upaya kriminalisasi. "Di sisi lain, kasus ini menjadi perbincangan hangat di tengah warga Minahasa Utara."

"Pekerjaan proyek pemecah ombak ini kan belum selesai. Mestinya, pekerjaannya diakhiri dulu dan diserahkan ke pemerintah setempat. Kalau belum selesai itu belum ada kepastian hukum, titik tolak perhitungan ganti ruginya di mana," tandas Toar.


Prematur


Soal ini, aku dia, tengah menjadi bahan diskusi kalangan akademisi dan mahasiswa hukum.

Dosen FH Unsrat lainnya, Eugenius Paransi juga sepakat. Ia mengaku sangat menghargai proses hukum yang dilakukan aparat penegak hukum. Tetapi, apa yang diperiksa tentu harus berada pada koridor hukum.

Dalam perkara ini, lanjut dia, aparat mengusut masalah bangunan proyek. Seyogyanya, mereka juga harus memperhatikan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.

"Seperti tentang pekerjaan jasa konstruksi, prosesnya harus melalui FHO (Final Hand Over) setelah proyek selesai 100% dan diserahkan ke pemerintah, baru diselidiki apakah ada kerugian negara," tegasnya.

Setelah FHO proyek juga, tambah Eugenius, masih ada tahapan lain yang seharusnya diikuti, yakni pemeliharaan. "Saya menilai keputusan adanya kerugian negara dalam kasus ini masih terlalu prematur,"

Sebelumnya, sidang kasus ini digelar di Pengadilan Tipikor Manado, Rabu (28/4). Saat itu, terdakwa melalui penasihat hukumnya membacakan eksepsi. (N-2)

BERITA TERKAIT