PEMERINTAH terus berusaha mengikis politik identitas lantaran dikhawatirkan bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Sayangnya, praktik itu diperkirakan masih terdapat di sejumlah daerah, salah satunya adalah Jawa Barat.
Jabar sejatinya dinilai sebagai provinsi yang memiliki dinamika sosial yang tinggi. Sayangnya hal itu ditimpali dengan maraknya politik identitas dan potensi radikalisme.
Baca juga: Nasdem: Politik Identitas dan SARA Harus Terus Diminimalisasi
Hal ini disampaikan Ketua Komisi I DPRD Jawa Barat Bedi Budiman menyikapi situasi dan kondisi yang diprediksi akan terjadi pada 2021. Dia menilai, situasi politik di Jawa Barat sangat terpengaruhi oleh kondisi di pusat.
"Sesungguhnya kondisi sosial politik Jabar cukup stabil, tetapi ada residu dari pusat," kata Bedi saat menyoroti kinerja Pemerintah Provinsi Jabar sepanjang 2020 di Bandung, Jumat (1/1). Sebagai contoh, Bedi menyoroti kondisi sosial politik di Jawa Barat yang menurutnya cukup rawan politik identitas.
"Ekses dari dinamika politik pusat misalnya politik identitas. Di Jabar terasa ada reaksi di beberapa tempat, ada resonansi ke daerah, ada getarannya, yang menurut hemat saya harus disikapi apalagi ini menyangkut politik identitas," tegasnya.
Dia mengatakan, dinamika politik ini tak hanya terjadi lima tahun sekali atau menjelang pemilihan presiden (Pilpres). "Hari ini pilpres selesai, besoknya sudah muncul survei capres lagi. Makanya dinamika politik selalu ada," ujarnya.
Tak hanya itu, dia juga menyoroti penyebaran paham radikalisme yang marak terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Ironisnya, penyebaran juga menyasar hingga instansi pemerintah.
Bedi pun mengakui Jawa Barat sering mendapat stigma daerah intoleran akibat tingginya radikalisme. Bahkan, dalam indeks kerukunan yang dirilis Kemenag tahun lalu, Jawa Barat menempati posisi tiga terbawah (skor 68,5), hanya lebih baik dari Sumatera Barat (64,4), dan Aceh (60,2).
"Bahkan temuan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut banyak aparatur sipil negara (ASN) yang tidak suka Pancasila. Padahal, Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah final dan seharusnya para PNS itu jadi pihak pertama yang membumikannya kepada segenap warga negara Indonesia," tegasnya.
Oleh karena itu, dia berharap Pemprov Jawa Barat melek terhadap kondisi itu. "Atas nama demokrasi, memang membuat seseorang atau kelompok mengekpresikan pilihannya. Tapi kemudian bila kita tidak memiliki kesigapan atau intrumen yang memadai akhirnya kita menjadi terkaget-kaget saja dengan adanya dinamika sosial politik yang ada di masyarakat," paparnya.
Atas dasar itu, Komisi I ingin memerankan secara penuh fungsi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Selama ini, sambungnya, Kesbangpol adalah badan yang dikelasduakan karena dianggap bahwa urusan politik merupakan tanggungjawab pusat.
"Tapi sekarang sudah tak bisa lagi. Karena justru tindakan preventif paling strategis dan normatif itu adalah di pemerintah daerah sebagai intrumen sipil," tuturnya.
Menurutnya, jika institusi TNI/Polri memiliki keterbatasan untuk mendeteksi satu gejolak politik, pemerintah daerah memiliki fungsi pembinaan untuk aparatur yang lebih luas, luwes, dan elegan. "Kami di Komisi I ingin mengoptimalkan peran Kesbangpol dan kemudian gubernur merespon. Kami ingin Kesbangpol lebih bergaung, apalagi di kabupaten kota, harus dianggarkan. Jangan sampai anggaran daerah habis untuk pegawai, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur membuat kita abai untuk urusan sosial politik, padahal ini sangat penting," bebernya.
Lebih lanjut, Bedi menyoroti kinerja Gubernur Jawa Barat yang dianggapnya kurang optimal. Bahkan, menurutnya sempat terjadi dinamika antara gubernur dengan legislator.
Bahkan, kata dia, fraksi yang dulu mendukung gubernur pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013, justru paling vokal mengkritisi. "Bahkan sempat ada wacana interpelasi. Pada periode awal mestinya gubernur ikuti saja nature politiknya. Jadi kalo dia punya pengusung, mestinya dipelihara sehingga ada sinergitas."
Lebih lanjut, dia menyebut di awal pandemi virus korona ini, Pemprov Jabar mengalami kesulitan dalam hal koordinasi dengan jajaran pemerintah kabupaten/kota untuk menyalurkan bantuan sosial. Kesulitannya adalah mengenai data dasar penduduk miskin yang berbeda-beda.
Akibat data tidak diperbarui selama bertahun-tahun, terjadilah akumulasi atau tumpang tindih calon penerima bansos. Akibatnya, kata dia, petugas yang mengumpulkan data mendapat komplain dari masyarakat.
Bahkan, menurutnya sempat terjadi sejumlah kepala desa tak mau mendapatkan bansos dari pemda. "Lakukan cleansing data, yakni dengan satu sistem dari Diskominfo membuat formula duplikasi antara bantuan pusat dan bantuan provinsi dipisahkan sehingga penerimanya bukan itu-itu saja. Di sini baru terasa bahwa koordinasi itu sangat penting," tuturnya.
Dia juga mengkritisi keberadaan tim akselerasi pembangunan (TAP) bentukan Gubernur Jabar yang dianggap melebihi kewenangan. Berdasarkan laporan yang diterimanya, TAP yang berisi pihak eksternal atau non-ASN ini dinilai telah mengintervensi terlalu jauh bahkan ditugasi mengatur dan mengawasi kinerja OPD.
(BY/A-1)