Masyarakat adat di Cigugur, Kabupaten Kuningan, semakin tersisih karena lahan komunal belum diakui negara. Mereka berjuang di pengadilan, tapi kalah dan kalah. Reporter Nurul Hidayah melaporkan kegigihan mereka. (Tulisan tiga)
TIGA tahun lalu, pada Agustus 2017, Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan sudah berhadaphadapan dengan ratusan aparat keamanan. Dipimpin Panitera Pengadilan Negeri Kuningan, aparat hendak menyita lahan seluas 224 meter di Blok Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur.
Penyitaan gagal. Ratusan perempuan berada di garis depan menentang upaya mereka.
Masyarakat adat mempertahankannya karena di lahan itu terdapat cagar budaya nasional Paseban Tri Panca Tunggal. Di lahan itu juga warga sudah tinggal sejak puluhan tahun lalu.
Blok Mayasih merupakan sebagian dari total 6.827 meter persegi lahan milik adat yang digugat Djaka Rumantaka ke pengadilan negeri pada 2009. Ia mengaku berhak atas lahan warisan ibunya, Ratu Siti Djenar Ali. Mereka masih keturunan Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat, sang pemimpin Akur pertama.
Djaka memenangi gugatan hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Hukum negara berpihak pada kepemilikan pribadi, tidak pada hak masyarakat adat.
Padahal, menurut Girang Pangaping Masyarakat Akur, Okky Satrio Djati, leluhur mereka sudah mengatur bahwa tanah ialah milik komunal. Tanah tidak boleh diwariskan.
Namun, UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria tidak berpihak pada masyarakat adat. Kepemilikan lahan atas nama pribadi membuat Akur Sunda Wiwitan kehilangan lahan komunal.
“Yang tersisa mungkin sekitar 15% saja. Kami sudah kehilangan lahan adat di Curug Goang, Leweung Leutik, serta Sagara Hyang Gunung Purnajiwa yang dikuasi pribadi, termasuk warga dari luar Kuningan,” ungkap Okky.
Dengan uang bersama, warga Akur berusaha membeli kembali lahan itu. Hasilnya, di Curug Goang, dari 3 hektare lahan, 1 hektare di antaranya bisa dibeli lagi. “Kami membeli sedikit demi sedikit selama 17 tahun,” tambah Oki.
Lahan inilah yang dipilih untuk membangun pasarean Pangeran Djatikusumah yang sangat mereka hormati.
Upaya itu tidak mudah karena ditentang sekelompok warga yang juga mendapat dukungan aparatur pemerintah. Tahun ini, Masyarakat Akur juga ingin mengembalikan Leuweung Leutik menjadi hutan larangan. Hutan dijadikan kawasan tambang galian C. Pohon-pohon juga ditebang untuk permukiman.
Masyarakat Akur mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Perkara masih bergulir. #“Objek gugatan ialah sertifikat hak milik atas nama R Djaka Rumantaka dengan luas lahan 6.827 meter persegi,” kata kuasa hukum Masyarakat Adat, Santi Cintya Dewi.
Leuweung Leutik merupakan tanah adat. Di hutan itulah sang pendiri, Pangeran Madrais, melalukan persembahyangan.
Bagi warga sekitar, Leuweung Leutik merupakan hutan penyangga dan resapan air. #“Penerbitan sertifikat hak milik mengakibatkan hak masyarakat adat hilang dan terampas,” pungkas Santi. (N-2)