09 June 2023, 11:50 WIB

Kualitas Udara Memburuk Tiap Kemarau


Putri Anisa Yuliani |

DINAS Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta akhirnya buka suara terkait keluhan terkait buruknya kualitas udara di Ibukota saat ini. Humas Dinas LH DKI Yogi Ikhwan mengatakan secara periodik kualitas udara Jakarta akan mengalami peningkatan konsentrasi polutan udara ketika memasuki musim kemarau, yaitu Mei-Agustus.

"Dan akan menurun saat memasuki musim penghujan pada September - Desember, hal tersebut terlihat dari tren konsentrasi PM2,5 tahun 2019 - 2023," kata Yogi saat dikonfirmasi Media Indonesia, Jumat (9/6).

Konsentrasi rata-rata bulanan PM2,5 bulan April 2023 sebesar 29,75 mikrogram/m3 menjadi 50,21 mikrogram/m3 pada Mei 2023, namun konsentrasi tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan Mei 2019 saat kondisi normal yaitu sebesar 54,38 mikrogram/m3.

Baca juga: PSI Minta Pemprov DKI Tangani Polusi Udara Jakarta

Yogi melanjutkan, kualitas udara selain dipengaruhi sumber emisi dimana pada kondisi pascacovid saat ini aktivitas manusia yang menghasilkan emisi kembali meningkat, juga di pengaruhi oleh faktor meteorologi yaitu curah hujan.

"Hujan akan membantu peluruhan polutan yang melayang di udara, sehingga ketika memasuki musim kemarau hal tersebut tidak terjadi," ujarnya.

Baca juga: BMKG Sebut Sebagian Wilayah Indonesia Berpotensi Kekeringan, Mana Saja ?

Selain itu, hal lain yang memengaruhi polusi udara adalah kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin yang rendah di Jakarta menyebabkan stagnasi pergerakan udara sehingga polutan udara akan terakumulasi. Hal itu juga dapat memicu produksi polutan udara lain seperti ozon permukaan (O3), yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang.

Pola arah angin permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2,5 di Jakarta. Kelembaban udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi dekat permukaan.

Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.

D"ampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2,5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring," tandasnya. (Z-3)

BERITA TERKAIT