03 February 2021, 23:20 WIB

Pengamat Nilai Transaksi Dinar Sama dengan Transaksi Uang Virtual


Yakub Pryatama Wijayaatmaja |

PENGAMAT Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa transaksi menggunakan dinar dan dirham di pasar Muamalah Depok serupa dengan transaksi uang virtual di mal. 

Abdul juga menilai bahwa polisi keliru dalam mempersangkakan pendiri pasar Muamalah di Depok bernama Zaim Saidi. 

"Pasar Muamalah itu memang menggunakan barang yang disebut d dinar, tapi bentuknya itu emas itu dipakai. Dituker dulu, baru bisa belanja. Itu menurut saya sama dengan pembayaran mal-mal yang pakai kartu itu bukan pake uang," ucap Abdul kepada Media Indonesia, Rabu (3/2). 

Maka, Abdul mengatakan bahwa penerapan Pasal 9 UU No 1 tahun 1946 tentang hukum pidana dan Pasal 33 dinilainya tidak tepat dalam kasus tersebut. 

Adapun Pasal 9 UU No.1/1946 berbunyi  "Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun." 

"Penerapan Pasal ini tidak tepat karena yang dilarang adalah membuat mata uang yang seolah-olah berlaku di Indonesia. Pada realitasnya yang dibuat dari antam adalah bayangan kecil emas yang diidentifikasi sebagai mata uang dinar;" ungkapnya. 

Baca juga : Zaim Saidi Sengaja Bentuk Pasar Ala Zaman Nabi

Jika yang dimaksud membuat semacam kupon atau bentuk barang yang diidentifikasi sebagai alat bayar, maka Abdul menyebut tafsir ini berbahaya karena banyak pusat perbelanjaan dan permainan yang menggunakan kupon atau uang virtual. 

Yang kedua, Abdul menilai sangkaan Pasal 33 UU No.7 Tahun 2011 tentang mata uang, dimana tersangka Zaim disangka tidak menggunakan rupiah sebagai alat pembayaran dalam transaksi masih bisa diperdebatkan. 

"Apakah kepingan emas yang digunakan dan didentifikasi sebagai mata uang itu benar produk sebuah negara dengan identifikasi seri mata uang atau hanya kepingan emas saja yang nilai tukarnya sama dengan berat ringannya?," tuturnya. 

"Jika benda yang disebut dirham itu bukan produk negara yang mengeluarkan, maka ZS tidak bisa disangka dengan ketentuan ini," tambahnya. 

Abdul pun menilai bahwa aparat kepolisian tidak tepat dalam menerapkan pasal mata uang ini. 

Pasalnya, jika tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang menuntut itu masuk pada ranah perdata perjanjian biasa. (OL-7)

BERITA TERKAIT