SEJAK jaman dulu, Jakarta merupakan kawasan yang menjadi langganan banjir. Hal itu bisa dilihat dari sejarah maupun nama-nama kawasan yang ada di Jakarta yang diawali dengan kata-kata ‘rawa’ dan ‘pulo’.
Masyarakat mengenal beberapa kawasan, seperti Rawamangun, Rawasari, Rawa Buaya, Pulo Gebang, Pulomas, Pulogadung, dan lain-lain. Kawasan tersebut awalnya merupakan daerah tempat air yang kemudian terjadi perubahan lahan resapan menjadi bangunan.
Awalnya, kawasan Puncak adalah kawasan hutan. Tapi, pemerintah Belanda ingin mengusahakan kawasan itu sebagai kawasan perkebunan teh. Akhirnya, tanaman pada hutan-hutan yang ada diubah menjadi tanaman teh. Air yang meresap ke tanah sebanyak 73%–97%, sedangkan yang terbuang sebanyak 3–27%.
MI/ BARY FATHAHILAH
"Begitu diubah, air yang meresap ke dalam tanah semakin sedikit. Sedangkan, air yang mengalir atau terbuang semakin besar. Dengan pesatnya perkembangan kota, muncul bangunan-bangunan baru. Air yang meresap ke tanah sebanyak 50%–70%, sedangkan yang terbuang sebanyak 30% – 50%," kata Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf.
Di Puncak, kemudian mulai bermunculan villa dan area rekreasi, kemudian di Depok dan sekitarnya muncul bangunan sedang dan kawasan permukiman.
Begitu pula dengan di DKI Jakarta yang semakin padat permukiman, mengakibatkan air yang meresap menjadi terbalik dari kondisi awal. Yaitu yang meresap hanya 3% sampai 27%, sedangkan yang terbuang sebanyak 73 sampai 97%. Akhirnya, persediaan air tanah habis, karena tidak ada yang masuk ke dalam tanah, dan justru mengalir ke drainase kota.
"Selain itu, dimensi drainase kota di DKI Jakarta dirancang untuk menampung debit air hujan maksimal untuk curah hujan 120 mm/hari. Sementara, kita tahu bahwa hujan ekstrem juga pernah terjadi beberapa kali di Jakarta," jelas Juaini.
Dalam upaya penanggulangan banjir, Juaini melanjutkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya, antara lain pengerukan saluran, pembuatan waduk/situ/embung, kesiapan operasional pompa, dan lain-lain.
Namun, hal itu belum cukup, masih perlu adanya kolaborasi bersama masyarakat, salah satu bentuknya adalah membuat drainase vertikal atau sumur resapan.
"Dengan membuat drainase vertikal, kita bisa menabung air hujan. Kalau di rumah tidak punya pekarangan yang luas, ajak tetangga sekitar untuk sama-sama membuat drainase vertikal. Salah satunya, bisa dilakukan di halaman mushola," ungkapnya.
MI/ BARY FATHAHILAH
Cara membuatnya cukup sederhana. Pertama, buat lubang pada tanah. Usahakan menggali tidak sampai keluar air. Perkuat dinding sumur menggunakan bata dengan celah 1 jari. Buat saluran air masuk dari talang dan keluar menuju parit apabila kelebihan air. Isi bagian bawah drainase vertikal dengan batu koral atau kerikil. Kemudian, tutup bagian atas drainase vertikal dengan plat beton dan hiasi dengan rumput atau tanaman.
"Jika turun hujan, air akan masuk melalui talang dan ditampung di drainase vertikal. Air tidak langsung terbuang ke saluran kota, sehingga air pada saluran kota bisa berkurang dan tidak lagi menimbulkan genangan. Bukan hanya menuntaskan genangan, dengan menabung air hujan, kita juga bisa memiliki cadangan air saat musim kemarau," kata Juaini.
Dibutuhkan kerja sama dalam menjalankan gerakan menabung air hujan. Pemprov DKI Jakarta mengajak warga berkolaborasi untuk membuat drainase vertikal di lingkungan tempat tinggal.
"Mari bersama kita bangun drainase vertikal untuk mengurangi banjir di Jakarta," pungkasnya. (Put/OL-10))