29 March 2023, 17:00 WIB

Di Timur Kongo, Umat Islam Merayakan Ramadan yang Suram


Adiyanto |

Jingga sinar matahari senja menerangi  langit di atas Masjid Munigi. Namun, jangan bayangkan masjid ini berupa bangunan mewah. Ia adalah sebuah bangunan kecil berdinding papan di Kongo timur, Afrika tengah, yang dilanda konflik etnis berkepanjangan.

Di wilayah itu, umat muslim menjalani puasa Ramadan di tempat pengungsian, yang jaraknya hanya 10 kilometer (enam mil) dari garis pertempuran. Keadaan mereka yang berdesakan di gubuk darurat, jauh bertolak belakang dari keindahan matahari senja yang memesona.

Sekitar 500 umat muslim tinggal di kamp pengungsi Munigi, di mana akses makanan dan air sangat terbatas. "Penghuni yang pertama tiba hampir setahun yang lalu," kata Ali Assani Mukamba, imam setempat, berbicara tentang para pengungsi muslim tersebut, seperti dilansir AFP. Rabu (29/3)

Berjalan melewati gubuk-gubuk kecil, yang dibangun dengan tergesa-gesa di lapangan batu vulkanik, dia menjelaskan bahwa salah satu masalah terbesar di kamp ini adalah kekurangan air bersih. “Untuk wudhu sebelum salat, kami kadang terpaksa menggosok diri dengan debu atau lumpur,” kata Mukamba.

Saat buka puasa tiba, jamaah muslim menyantap sepiring nasi dan kacang-kacangan, sementara bola lampu pucat menyala untuk menerangi masjid mereka. Abda Juma Buranga, salah satu sesepuh muslim di kamp itu mengatakan mereka hanya bisa makan makanan untuk berbuka puasa dari sumbangan.

Dia sendiri melarikan diri dari desa asalnya di Kibumba, kurang dari 20 kilometer (12 mil) dari kamp, ​​ketika pejuang M23 melancarkan serangan pada November. "Saya kehilangan 25 anggota keluarga saya, sepupu, bibi, keponakan," kata pria berusia 65 tahun itu. "Mereka semua dibunuh oleh M23,” ujarnya lirih. Di mata pemerintah, kelompok M23, yang sebagian besar merupakan warga etnis Tutsi di Kongo, merupakan pemberontak.

Komunitas Muslim di Munigi merupakan bagian kecil dari sejumlah besar orang yang melarikan diri untuk menghindari kekerasan yang dilakukan kelompok itu di provinsi Kivu Utara.

Bulan ini, Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan konflik ini telah membuat hampir 900 ribu orang mengungsi.

Kelompok M23 pertama kali menjadi terkenal secara internasional ketika secara singkat berhasil merebut ibu kota Kivu Utara, Goma pada 2012, sebelum dipukul mundur kembali oleh pasukan pemerintah.

Namun, setelah bertahun-tahun tidak aktif, mereka kembali mengangkat senjata pada akhir 2021 karena kecewa pemerintah telah mengabaikan janji untuk mengintegrasikan para pejuangnya ke dalam militer.

Sejak itu, kelompok ini terus berbuat onar dan merebut sebagian besar wilayah di Kivu Utara. Kini, mereka mengancam akan memutus jalan menuju Goma, yang merupakan jalur pusat perdagangan."Pada tahun 2012, saya tidak melarikan diri ketika M23 tiba," kata Aisha Furaha, salah seorang pengungsi di kamp Munigi. Namun, menurut wanita berusia 40 tahun itu, kelompok tersebut kembali dengan lebih brutal pada aksi keduanya.

Para pemberontak itu mengancam akan menjarah dan membunuh, kata Furaha. Dia dan 10 anaknya bahkan harus lari dari rumah mereka di bawah berondongan tembakan. Sekarang, dia dan keluarganya tidur  beralaskan tanah di sebuah gubuk sempit di Munigi

Menurut laporan para ahli independen untuk Dewan Keamanan PBB, Rwanda, negara tetangga Kongo, diduga ikut mendukung dan mempersenjatai para pemberontak. Namun, tentu saja klaim ini dibantah pemerintah Rwanda. (AFP/M-3)

 

BERITA TERKAIT