10 February 2022, 20:44 WIB

Larangan Hijab di India Peruncing Perbedaan Agama


Mediaindonesia.com |

MENGHADAPI pilihan antara sekolah dan keyakinan agamanya, AH Almas mengatakan dia tidak punya pilihan sama sekali. Murid Muslim berusia 18 tahun di prauniversitas wanita di Udupi, India, yang mayoritas beragama Hindu. 

Ia telah mengenakan jilbab sejak dia masih kecil. Namun pada Desember, pihak berwenang melarang dia dan setidaknya empat teman sekolahnya dari kelas karena mengenakan jilbab.

"Mereka membuat kami memilih antara iman dan pendidikan kami," katanya kepada AFP. "Kesetaraan macam apa ini?"

Gadis-gadis itu telah berdemonstrasi sejak itu. Sebagai tanggapan, remaja Hindu di Udupi telah berulang kali berkumpul dalam selendang berwarna kunyit yang melambangkan agama mereka sendiri.

Hal yang dimulai ketika satu sekolah mengeluarkan kebijakan yang seolah-olah melindungi sekularisme di kelas kini meningkat menjadi protes yang didorong oleh agama dan respons balasan di seluruh negara bagian Karnataka selatan lantas menyebar ke tempat lain dan sekitarnya. Rekaman video viral menunjukkan seorang siswi berhijab dikejar oleh pria Hindu dengan teriakan, "Jai Shri Ram (Salam Tuhan Ram)," ketika siswi tersebut tiba di kampusnya di kota Karnataka, Mandya. Siswi itu lantas meneriakkan, "Allahu Akbar," sebagai tanggapan.

Protes menjamur di banyak kota terbesar India, termasuk Delhi, Mumbai, dan Kolkata, serta negara tetangga Pakistan yang berpenduduk mayoritas Muslim. Kementerian Luar Negeri Pakistan memanggil seorang diplomat India untuk memprotes larangan itu.

Pemenang Nobel Pakistan Malala Yousafzai--dianugerahi penghargaan atas karyanya untuk pendidikan perempuan--nenyatakan dukungannya untuk anak perempuan. "Itu hal kecil, itu hak dasar," kata Almas. "Kami tidak pernah berpikir itu akan sejauh ini."

Semua kini berbeda

Menurut Almas, sekolah itu biasa melaksanakan sembahyang pada hari raya Hindu dan murid-murid Muslim tidak pernah keberatan. "Teman-teman kami yang dulu suka melakukan gosip dan makan siang bersama sekarang menentang kami," katanya.

"Sebelumnya, tidak ada Hindu/Muslim di antara kami, tetapi sekarang semua menjadi berbeda." Pertikaian tersebut meningkatkan ketakutan di kalangan Muslim di India. 

Mereka merasa semakin diserang di bawah pemerintahan nasionalis Hindu Narendra Modi. Pasalnya, pemerintahan itu dinilai membawa simbolisme agama ke dalam kehidupan publik yang tidak dibawa pada pemimpin sebelumnya.

Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Modi dituduh merusak fondasi sekuler dan demokrasi India serta memicu lingkungan ketakutan dan intimidasi di kalangan minoritas. "Itu hanya masalah siswa dan mereka membuatnya menjadi komunal," kata Aliya Sadiq, 17, salah satu siswi Udupi yang dilarang.

Jubah safron

Jilbab merupakan rukun iman yang penting bagi banyak wanita Muslim dan telah menjadi kontroversi di beberapa negara. Salah satunya Prancis yang melarangnya di sekolah umum pada 2004.

Anggota parlemen BJP Udupi Raghupathi Bhat berkeras bahwa tindakan itu didorong oleh aturan seragam sekolah dan bahwa jilbab diizinkan di luar kelas. "Ketika Anda duduk di kelas, Anda setara," katanya. "Dalam pendidikan, jangan bawa masalah agama."

Namun para aktivis mengatakan larangan itu telah meningkatkan kekhawatiran meningkatnya kebencian terhadap Muslim di negara itu di bawah pemerintahan Modi. "Kita memiliki orang-orang yang berkeliling dengan jubah safron, seorang menteri yang duduk di kabinet serikat dengan jubah safron. Kita memiliki menteri utama negara bagian terbesar yang selamanya mengenakan jubah safron. Jadi apa urusannya orang-orang ini harus menanyai gadis-gadis berhijab?" kata Zakia Soman, pendiri Bharatiya Muslim Mahila Andolan, kelompok wanita Muslim India.

Baca juga: Protes Berkembang atas Larangan Hijab di Sekolah India

Perselisihan itu juga menyoroti kekhawatiran tentang jilbab merupakan sarana bagi Muslim patriarki konservatif untuk menegaskan kendali atas perempuan. Aktivis sosial Shabnam Hashmi mengutuk larangan itu tetapi mengatakan bahwa mengidentifikasi jilbab dengan identitas agama menimbulkan perselisihan yang membantu sayap kanan Muslim. "Anda menciptakan stereotip tentang wanita Muslim dan kemudian Anda ingin memasukkan setiap wanita Muslim ke dalamnya," katanya.

Pelajar Almas memiliki harapannya kepada pengadilan tinggi negara bagian yang bakal mendengarkan petisi menentang larangan jilbab. Dia berkeras jilbab bukanlah instrumen represi Islam terhadap perempuan. "Ini kebanggaan saya," katanya. (AFP/OL-14)

BERITA TERKAIT