PAKAR hak asasi manusia independen yang diamanatkan oleh PBB, mengutuk pihak berwenang Kazakhstan atas penggunaan kekuatan mematikan terhadap demonstran di negara Asia Tengah itu dan karena melabeli lawannya sebagai teroris.
Mereka mengkritik penggunaan kekuatan yang tidak terkendali oleh pasukan keamanan dan mereka khawatir bahwa Presiden Kassym-Jomart Tokayev telah memilih untuk menggambarkan para pengunjuk rasa sebagai "bandit dan teroris".
Penggunaan istilah-istilah tersebut tampaknya dirancang untuk menimbulkan ketakutan, kata Fionnuala Ni Aolain, Pelapor Khusus untuk kontra-terorisme dan hak asasi manusia - posisi yang didukung oleh beberapa ahli di Dewan Hak Asasi Manusia.
"Penyalahgunaan kata 'terorisme' merusak keamanan semua dan merendahkan istilah ini yang memiliki arti khusus dalam hukum internasional," kata mereka dalam pernyataan bersama, yang dikutip Rabu (12/1)
"Itu tidak boleh digunakan untuk membungkam mereka yang tidak sependapat dengan pemerintah, yang memprotes tentang kondisi sosial dan ekonomi, dan mengekspresikan pandangan politik," kata mereka.
Ditambahkan mereka, tindakan kekerasan harus ditangani dengan tepat di bawah hukum pidana komprehensif Kazakhstan yang dilengkapi secara memadai untuk menangani tindakan tersebut.
Aksi protes pekan lalu, terutama menentang kenaikan harga bahan bakar dan korupsi, menyaksikan tingkat kekerasan yang tidak dialami di bekas republik Soviet yang luas itu sejak kemerdekaan pada 1991.
Puluhan orang tewas dan ratusan lainnya terluka dengan lebih dari 10.000 penangkapan dilakukan.
Mencap orang sebagai "teroris" dan kemudian menerapkan kebijakan tembak mati terhadap mereka merupakan pelanggaran signifikan terhadap hak-hak mereka, kata para ahli, yang menyerukan pemerintah untuk melindungi kebebasan mendasar.
"Setiap penyelidikan domestik harus mempertimbangkan kewajiban hak asasi manusia internasional Kazakhstan," tambah mereka.
Dalam pidatonya kepada bangsanya pekan lalu, Tokayev mengatakan 20.000 bandit bersenjata telah menyerang Almaty dan mengizinkan pasukannya untuk menembak mati tanpa peringatan. (AFP/OL-13)
Baca Juga: Menlu Prancis Sebut Pembicaraan Nuklir Iran Berjalan Terlalu Lambat