01 November 2021, 09:30 WIB

Pro Anti-Kudeta di Sudan Barikade Jalanan


Nur Aivanni |

PARA pengunjukrasa anti-kudeta di Sudan, pada Minggu (31/10), memasang barikade di Khartoum. Itu dilakukan sehari setelah tindakan keras mematikan terhadap para demonstrans ketika kampanye pembangkangan sipil menentang pengambilalihan militer.

Puluhan ribu orang turun ke seluruh negeri untuk demonstrasi pada hari Sabtu (30/10). Mereka berbaris menentang perebutan kekuasaan pada 25 Oktober oleh tentara, ketika Jenderal Abdel Fattah al-Burhan membubarkan pemerintah, menyatakan keadaan darurat dan menahan para pemimpin sipil Sudan.

Langkah itu pun memicu kecaman internasional dan pemotongan bantuan, dengan kekuatan dunia menuntut agar negara tersebut kembali ke pemerintahan sipil dan menyerukan militer untuk menahan diri terhadap pengunjuk rasa.

Perwakilan khusus PBB untuk Sudan, Volker Perthes, pada Minggu, mengatakan bahwa dia telah bertemu dengan Perdana Menteri Abdalla Hamdok yang ditahan, yang berada di bawah penjagaan bersenjata oleh junta militer yang berkuasa.

"Dia (Hamdok) tetap sehat tetapi dalam tahanan rumah," kata Perthes. "Kami membahas opsi untuk mediasi dan jalan ke depan untuk Sudan. Saya akan melanjutkan upaya ini dengan pemangku kepentingan Sudan lainnya," terangnya.

Komite Sentral Dokter Sudan mengatakan bahwa milisi menembak mati seorang pengunjuk rasa pada hari kudeta, mendorong jumlah korban keseluruhan menjadi 12 orang tewas.

Seorang pejabat senior AS memperkirakan setidaknya 20 hingga 30 orang telah tewas sebelum aksi protes pada Sabtu.

Setidaknya tiga orang ditembak mati dan lebih dari 100 orang terluka selama demonstrasi pada Sabtu, menurut petugas medis, yang melaporkan mereka yang tewas memiliki luka tembak di kepala, dada atau perut. Pasukan polisi membantah pembunuhan itu, atau menggunakan peluru tajam.

"Tidak, tidak, untuk pemerintahan militer," teriak pengunjuk rasa yang membawa bendera Sudan saat mereka berbaris di sekitar ibu kota dan kota-kota lain, ketika pasukan menembakkan gas air mata untuk membubarkan mereka.

Sejak Agustu 2019, Sudan telah diperintah oleh dewan sipil-militer bersama sebagai bagian dari transisi ke pemerintahan sipil penuh. Setelah memimpin kudeta tersbeut, Burhan berjanji akan membentuk pemerintahan sipil yang baru.

Pada Minggu, para demonstran yang telah memblokir pusat perdagangan timur Port Sudan sejak pertengahan September sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Hamdok mengatakan mereka akan mencabut blokade tersebut.

"Kami memutuskan untuk mencabut blokade di pelabuhan dan rute darat (ke Khartoum) selama sebulan sampai pembentukan pemerintahan baru, untuk memberikan kesempatan menemukan solusi di timur negara itu," kata pemimpin aksi protes Abdallah Abouchar.

Juga pada Minggu, Sudan TV melaporkan bahwa Burhan memecat jaksa agung menyusul pembebasan beberapa tokoh yang terkait dengan rezim Presiden Omar al-Bashir.

Presiden AS Joe Biden menyebut kudeta itu sebagai "kemunduran besar", sementara Uni Afrika telah menangguhkan keanggotaan Sudan untuk pengambilalihan yang "tidak konstitusional".

Bank Dunia dan Amerika Serikat pun telah membekukan bantuan. Itu merupakan sebuah langkah yang akan menghantam keras di negara yang sudah terperosok dalam krisis ekonomi yang mengerikan.

Tetapi Burhan bersikeras pengambilalihan militer itu bukanlah kudeta. Sebaliknya, Burhan mengatakan dia ingin memperbaiki jalannya transisi Sudan. (AFP/OL-13)

Baca Juga: Saham Jepang Melonjak Paska Sinyal Pemerintahan yang Stabil

BERITA TERKAIT