MENTERI Luar Negeri Sudan Mariam al-Mahdi mengatakan bahwa negara itu telah ditahan sejak kudeta militer awal pekan ini. Dia pun menolak untuk berunding dengan para jenderal yang memimpin perebutan kekuasaan tersebut.
Pada Senin, militer menahan Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan pejabat tinggi lainnya, membubarkan pemerintah, menyatakan keadaan darurat nasional dan meluncurkan tindakan keras mematikan terhadap pengunjuk rasa damai.
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan - pemimpin de facto Sudan sejak penggulingan Presiden Omar al-Bashir 2019 - memimpin pengambilalihan itu. Dikatakannya, itu dimaksudkan untuk memperbaiki jalannya transisi pasca-Bashir.
"Kami semua ditahan dalam kondisi ini karena kami tidak bisa lagi berkomunikasi satu sama lain," kata Mahdi kepada AFP dalam sebuah wawancara telepon, pada Sabtu waktu setempat (30/10).
"Kami harus bergantung pada orang-orang yang secara kebetulan menelepon kami dari luar negeri dan meminta mereka untuk memeriksa orang lain (di Sudan) untuk kami," katanya.
Seorang tokoh terkemuka dari Partai Umma, terbesar di Sudan, dan putri Sadiq al-Mahdi, perdana menteri yang terpilih secara demokratis terakhir yang digulingkan oleh Bashir dalam kudeta tahun 1989, Mariam al-Mahdi adalah salah satu dari sedikit pemimpin sipil yang tidak ditangkap oleh militer.
Layanan internet sebagian besar telah diblokir sejak kudeta, dan panggilan telepon pun terganggu. Aktivis pro-demokrasi juga telah ditangkap sejak pengambilalihan militer, termasuk saudara laki-laki Mahdi sendiri, Wakil Partai Umma Sedeeq al-Sadiq al-Mahdi.
Pada Sabtu, sekitar 11 pengunjuk rasa telah tewas dalam tindakan keras oleh pasukan keamanan terhadap demonstrasi anti-kudeta, menurut petugas medis.
Media lokal melaporkan dalam beberapa hari terakhir bahwa Burhan menyarankan agar Hamdok membentuk pemerintahan baru setelah pengambilalihan militer. "Perdana Menteri Hamdok adalah seorang patriot, seorang intelektual, dan seorang politisi. Dia tidak akan pernah menjadi bagian dari lelucon ini," kata Mahdi.
Dia menyebut kudeta itu sebagai bentuk pengkhianatan dan dia juga tidak akan pernah bernegosiasi dengan militer serta akan menolak menjadi bagian dari pemerintahan yang diinginkan oleh mereka. "Saya belum pernah berdiskusi dengan salah satu dari mereka dan saya tidak akan pernah melakukannya," katanya.
Sudan telah dipimpin sejak Agustus 2019 oleh dewan penguasa sipil-militer yang seharusnya mengawasi pemerintahan sipil penuh. Pengaturan itu berada di bawah tekanan yang meningkat sebelum kudeta.
Mahdi, yang menjabat sebagai menteri luar negeri pada Februari, mengatakan dia selalu memperlakukan militer dengan hormat. "Tapi apa yang mereka lakukan pada 25 Oktober adalah pengkhianatan," ucapnya.
Dia mengecam tindakan keras terhadap aksi protes damai sebagai tindakan tidak rasional dan tidak bertanggung jawab dan menyesalkan adanya pertumpahan darah. Dia juga menyerukan agar semua tahanan politik dibebaskan. (AFP/OL-13)
Baca Juga: Jokowi Berada di Baris Terdepan Sesi Foto Bersama Pemimpin Negara G20