PEJABAT Palestina di Ramallah tidak terkejut mendengar kunjungan rahasia Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu ke Arab Saudi. Dia bertemu dengan Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman.
Meskipun begitu, Riyadh diharapkan tidak akan menjalin hubungan dengan Israel. Hamas dan Jihad Islam Palestina mengutuk keras kunjungan itu dan menyebutnya sebagai preseden berbahaya.
Perdana Menteri Otoritas Palestina Muhammad Shtayyeh, dalam sambutan pembukaannya selama pertemuan mingguan kabinet Palestinian Authority (PA), tidak berkomentar secara langsung atas laporan tentang pertemuan rahasia tersebut. Ia memperingatkan bahwa upaya untuk menggambarkan normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab sebagai pengganti perdamaian dengan Palestina merupakan pelarian dari kebenaran.
"Palestina sedih dengan berita bahwa negara-negara Arab berbicara tentang pembukaan kedutaan di Israel," tutur Shtayyeh sebagaimana dikutip dari The Jerusalem Post, Senin (23/11). Ia mengacu pada Uni Emirat Arab dan Bahrain, dua negara Teluk yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel tahun ini.
Shtayyeh mencatat bahwa mereka bahkan tidak memiliki kedutaan atau misi diplomatik di tanah Negara Palestina. Dia menyerukan dialog di antara negara-negara Arab tentang normalisasi dengan Israel dan mendesak koordinasi Arab dengan kepemimpinan Palestina tentang masalah-masalah yang memengaruhi Palestina.
Seorang pejabat senior Palestina mengatakan bahwa meskipun tidak mengherankan, para pemimpin berharap kunjungan ini tidak akan menunjukkan perubahan posisi Saudi untuk normalisasi dengan Israel. "Kami sadar bahwa Saudi mendukung keputusan Uni Emirat Arab dan Bahrain untuk menormalisasi hubungan mereka dengan Israel," kata pejabat itu.
"Kami juga percaya bahwa pertemuan antara Netanyahu dan bin Salman bukanlah yang pertama kali. Tapi kami berharap Arab Saudi tidak ikut dalam kereta normalisasi. Saudi telah memperjelas bahwa mereka tidak akan menjalin hubungan dengan Israel sampai masalah Palestina diselesaikan."
Juru bicara Hamas Sami Abu Zuhri menyebut kunjungan itu berbahaya dan menuntut Arab Saudi mengklarifikasi tujuan pertemuan. Alasannya, pertemuan itu merupakan penghinaan yang diwakilinya kepada bangsa dan pengenyampingan hak-hak Palestina.
Seorang pejabat senior Hamas di Gaza, Mahmoud Zahar, mengatakan bahwa kunjungan Netanyahu ke Arab Saudi tergolong perkembangan alami dan berbahaya dari proses normalisasi di wilayah tersebut. Dia memperingatkan bahwa normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab dapat mengarah pada kerja sama militer dan keamanan melawan negara-negara besar di kawasan. Ini merupakan rujukan yang jelas ke arah Iran.
Pejabat senior Hamas lain, Musa Abu Marzouk, juga meminta Arab Saudi untuk mengklarifikasi tujuan kunjungan Netanyahu ke kerajaan tersebut. "Pertemuan-pertemuan ini berbahaya bagi perjuangan Palestina dan membuat musuh kita semakin berani," katanya.
Hubungan antara Hamas dan Arab Saudi telah tegang sejak 2019, ketika otoritas Saudi menangkap sejumlah anggota Hamas di kerajaan yang dituduh menjadi anggota kelompok teroris serta mendukung dan mendanai organisasi teroris. Hamas merupakan bagian dari Ikhwanul Muslimin yang dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Saudi pada 2014.
Awal bulan ini, Majelis Ulama Senior Arab Saudi turut mengecam Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris yang tidak mewakili Islam. Dewan tersebut mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin menyerukan untuk pemberontakan melawan penguasa, mendatangkan malapetaka di negara bagian, (dan) merusak stabilitas negara.
Jihad Islam Palestina yang didukung Iran mengecam kunjungan Netanyahu sebagai pengkhianatan terhadap Yerusalem, Mekah, Madinah, dan Masjid al-Aqsa. Kelompok yang juga dianggap teroris ini mengatakan bahwa kunjungan dan normalisasi dengan Israel akan mendorong pendudukan Zionis untuk melanjutkan kebijakan agresifnya yang berbahaya di Palestina. (OL-14)