08 June 2023, 16:30 WIB

RUU Kesehatan Diminta Jangan Buru-buru Disahkan, Ini Catatan dari Masyarakat Sipil


Despian Nurhidayat |

CENTER for Indonesia's Strategic Developmet Initiatives (CISDI) mengemukakan tiga catatan yang perlu diperhatikan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan catatan pertama terkait pasal 420 ayat 2 dan 3 yang menyebutkan akan menghapuskan anggaran kesehatan minimal 10% yang ada dalam tingkat pusat dan daerah.

"CISDI merasa penetapan mandatory spending masih diperlukan sebagai penyangga komitmen daerah terhadap anggaran sektor kesehatan sembari pemerintah pusat meningkatkan kapasitas supervisi dan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan belanja sektor kesehatan," ungkapnya dalam Webinar CISDI Kepentingan Publik yang Belum Ada di RUU Kesehatan, Kamis (8/6).

Baca juga : Ditolak, Persamaan Tembakau dengan Narkoba dalam RUU Kesehatan

Catatan kedua, belum jelasnya arah pelembagaan kader sebagau sumber daya manusia oendukung kesehatan. Hal ini tentu akan membuat kader menjadi komponen di luar sistem kesehatan dan dilihat sebagai sesuatu yang bersifat sukarela. Catatan ketiga, insentif kader tidak tertuang secara detail dalam RUU Kesehatan.

Lebih lanjut, Diah menambahkan terdapat juga beberapa pasal yang harus disempurnakan, salah satunya terkait rokok, di mana RUU Kesehatan belum memasukkan larangan iklan, promosi dan sponsor untuk produk tembakau.

Baca juga : Pembahasan RUU Kesehatan Jalan Terus

"Ini konsekuensinya sangat besar bagi publik terutama anak. Kita konsumsi rokoknya tertinggi di dunia kalau tidak salah 74% padahal kita populasinya termasuk terbesar dunia. Perokok anak juga akan semakin terpapar oleh adanya iklan atau promosi dari produk rokok yang seolah-olah dicitrakan baik padahal jelas-jelas berbahaya untuk kesehatan," ucap Diah.

Selain itu, pasal tentang integrasi layanan primer dirasa perlu disempurnakan secara teknis bahwa integrasi layanan teknis itu harus juga berbicara tentang integrasi pemberian layanan kesehatan dari fasilitas kesehatan publik dengan swasta.

"Jadi integrasi ini harusnya memuat definisi teknis yang tepat terkait hal tersebut dan memuat layanan kesehatan reproduksi dalam layanan kesehatan ini yang kami catat belum ada," lanjutnya.

Selain itu, RUU Kesehatan juga perlu memasukkan kelompok masyarakat rentan lain pada pasal 27 seperti misalnya penduduk atau individu yang tinggal dengan kualitas hunian minim dan sulit mengakses sanitasi seperti misalnya penghuni lapas dan yang tidak memiliki dokumen kependudukan.

Diah meminta agar pemerintah dan DPR RI mendengar dan mengakomodasi hal yang CISDI sampaikan dalam kerangka partisipasi publik untuk menerima, mendengar dan mengakomodasi masukan publik.

"Kami menyadari bahwa proses pengesahan RUU Kesehatan sebaiknya tidak dilakukan dengan terburu-buru. Diharapkan dapat memperbaiki proses konsultasi dengan lebih baik, terbuka dan inklusif agar seluruh masukan masyarakat dapat porsi dan tempat untuk didengar. Kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat mengawal dari proses pembahasan sampai pengesahannya agar prosesnya transparan," ujar Diah.

Di tempat yang sama, Pakar Hukum Tata Negara, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menambahkan, dari segi proses legislasi, RUU Kesehatan sebaiknya ditunda dulu karena penuh dengan kontroversi.

"Dari segi prosesnya saja ada yang terlewati yakni partisipasi masyarakat. Dalam konteks kita yang mendekati pergantian pemerintahan, sebaiknya ditunda dulu dan dibongkar saja dulu RUU Kesehatan ini, disisir lagi," ujar Bivitri.

Menurutnya masih ada beberapa hal yang seharusnya terpisahkan dari RUU Kesehatan seperti Sistem Jaminan Sosial dan BPJS Kesehatan yang akan dipisahkan sendiri dan diletakkan di bawah Kementerian Kesehatan.

"Apakah betul kita harus melakukan pembenahan? Iya tapi caranya jangan mau ambil yang instan tapi buka prosesnya karena stakeholders yang terlibat banyak sekali. Jadi disisir pelan-pelan. Nantinya akan berantakan. Karena kita mau ganti pemerintahan. Suasana saat ini kalau di bidang ketatanegaraan kami bilang goverment lame duck karena semua fokus ke pemilu," tuturnya.

Menurut Bivitri, keterburu-buruan dan tidak punya fokusnya stakeholders dalam keadaan saat ini karena akan memasuki masa kampanye dan lainnya hanya akan membuat RUU Kesehatan tidak mendapat perhatian yang cukup.

"Jadi kita harus hati-hati, bongkar lagi segala aspek yang perlu diperhatikan, baca implikasinya, dan jangan terburu-buru, tunda saja demi perubahan yang lebih sustainable untuk sistem layanan kesehatan kita," tegas Bivitri.

Sementara itu, Direktur Yayasan IPAS Indonesia Marcia Soumokil mengapresiasi draf RUU Kesehatan saat ini yang dikatakan memilki banyak hal progresif jika dibandingkan UU Kesehatan terdahulu.

"Kita melihat cukup banyak hal progresif yang dimasukkan dalam RUU Kesehatan di mana RUU ini mencoba inklusif tapi memang mungkin masih perlu memperluas inklusivitas ini meliputi semua warga negara yang punya hak pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terstandar yang mampu diberikan negara," kata Marcia.

Dalam RUU Kesehatan ini, menurutnya masih ada beberapa hal terutama terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi yang perlu dikawal. Salah satunya ialah memasukkan pengaturan terkait layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Karena sebenarnya dasarnya cukup banyak ada UU PKDRT dan TPKS yang mengatur secara jelas pasal mengenai hak korban di mana hak korban ini termasuk hak atas penanganan, perlindungan dan pemulihan. Di sini ada peran penting layanan kesehatan untuk menjamin bahwa korban kekerasan seksual dan kekerasan lainnya mendapatkan penanganan dan pemulihan," ujarnya.

Menurutnya, dengan adanya pasal atau ayat yang mengatur tentang layanan kekerasan seksual dan anak, maka akan memberikan payung hukum untuk aturan turunan nantinya dan akan memberikan kepastian kewajiban tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.

Marcia juga mengapresiasi pasal terkait kesehatan reproduksi karena sudah berupaya menjamin bahwa tiap warga negara berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kesehatan seksual yang aman dan bebas dari diskriminasi, paksaan atau kekerasan.

Namun demikian, dia menegaskan upaya yang tidak memandang latar belakang ini mungkin perlu dipertimbangkan ulang sesuai dengan norma agama karena pemerintah mengakui paling tidak ada 6 agama dan harus ada jaminan ketika pasal ini diterapkan, tidak ada diskriminasi pada kelompok agama tertentu maupun pemegang kepercayaan lainnya yang memiliki norma atau agama berbeda.

Hal penting lainnya menjamin penanganan penyakit kesehatan reproduksi yang menjadi masalah di negara ini contohnya HIV/AIDS, hepatitis dan penyakit menular seksual lainnya.

Selain itu, Marcia juga mengapresiasi adanya pasal pengecualian aborsi pada situasi dan indikasi tertentu.

"Kita tahu aborsi dilarang, tapi pasal pengecualian ini sudah sinkron dengan UU KUHP. Kita juga melihat sesuai UU KUHP, batasan usia aborsi sesuai dengan rekomendasi Abortion Care WHO guideline di mana 14 minggu layanan bisa dilakukan tidak harus menggunakan teknologi yang rumit. Hal yang dibutuhkan hanya pelatihan keterampilan dari tenaga medisnya dan dukungan interprofesional dari tenaga medis lainnya karena kita ingin memberikan pelayanan komprehensif untuk korban kekerasan seksual maupun perkosaan serta mereka yang mengalami gangguan kesehatan dan tumbuh kembang janin," tutur Marcia.

Menurutnya hal yang kini perlu dipastikan adalah kepastian hukum bagi tenaga medis dan kesehatan yang akan memberikan layanan sesuai regulasi dan aturan yang ada. Karena negara perlu memastikan ketika layanan ini nantinya ada, seluruh komponen yang terlibat tidak akan terkena pidana.

Dia juga mengapreskasi pasal terkait perencanaan kehamilan dan Keluarga Berencana (KB) karena dalam draf RUU Kesehatan telah menjamin kepastian bahwa layanan keluarga berencana bisa diakses oleh setiap orang pada usia subur dan terlepas dari status pernikahannya.

Hal ini dikatakan akan memastikan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin ketersediaan dari tenaga, fasilitas, alat dan obat yang diperlukan dan menjamin layanan KB yang aman, bermutu dan terjangkau bagi masyarakat. Menurutnya, peningkatan akses KB juga akan membantu menurunkan angka kematian ibu.

"Demikian juga pasal kesehatan remaja. Kami melihat saat ini dalam draf yang ada di RUU Kesehatan, maka upaya kesehatan remaja ini sudah cukup baik dengan mempertimbangkan bahwa upaya kesehatan remaja tidak hanya ditujukan untuk persiapkan mereka menjadi orangtua kalau pilihannya menikah," ucapnya.

"Karena upaya kesehatan remaja juga untuk remaja saat ini yang menurut kami itu sangat penting karena kita perlu memastikan kesehatan remaja itu mereka lalui dengan masih sehat, berkualitas, dengan risiko lainnya. Nanti tinggal mengawal aturan turunannya dan memastikan layanannya segera tersedia dan membutyhkan peran banyak orang," tandas Marcia. (Z-5)

BERITA TERKAIT