RISET berjudul Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia yang digarap Konde.co, terungkap bahwa banyak pekerja perempuan di Indonesia yang mengalami eksploitasi kerja di balik sistem kerja yang fleksibel. Fakta itu semakin diperjelas oleh film berjudul 'Silenced Worker' atau pekerja yang dibungkam yang bercerita tentang kondisi pekerja film dan pabrik garmen yang mengalami eksploitasi di tengah ekosistem kerja yang fleksibel.
Film itu mengungkap kondisi pekerja film dan pabrik garmen yang selama ini belum tersuarakan. Para pekerja industri kreatif terutama pekerja film masih bekerja selama 18-20 jam per hari. Kondisi itu membuat pekerja kerap menjadi korban kecelakaan kerja, tabrakan lalu lintas, hingga meninggal akibat kelelahan kerja.
Kondisi yang tidak lebih baik juga dialami pekerja perempuan pabrik garmen yang harus berdiri selama 8 jam dalam kondisi hamil karena pekerjaannya atau berstatus kontrak terus menerus dengan hak-hak kerja seperti upah layak terabaikan.
Pekerja film, Gendis Sri Dewanti mengungkapkan kondisi kerja yang eksploitatif itu dinormalisasi di tempat kerja. Para pekerja bekerja berlebihan hingga menganggu kesehatannya. “Memang banyak sekali hal-hal yang dinormalisasikan di lokasi, yang sebetulnya hal-hal itu tidak normal. Salah satunya overwork,” kata Gendis dalam diskusi pemutaran film Silenced Workers di GoetheHaus, Jakarta, Sabtu (3/6).
Sementara itu, Vice President II Indonesia Cinematographers Society (ICS) Batara Goempar mengungkap ada hal 'manipulatif' yang membuat pekerja film menormalisasi eksploitasi kerja. “Pekerja film itu sering ditanya, kita ini sedang berkarya atau bekerja? Ini yang kadang menjadi manipulatif untuk pembenaran kerja berlebihan,” ujarnya.
Oleh karena kondisi kerja pekerja film yang berlebihan itu, ICS bersama SINDIKASI menginisiasi advokasi bersama pengurangan jam kerja dari 20 jam menjadi 14 jam lewat kampanye #Sepakatdi14.
Perwakilan Sindikasi Bimo Arya Fundrika menyebut advokasi #Sepakatdi14 tersebut sebagai langkah awal untuk mengubah sistem kerja industri film yang jam kerjanya panjang. Selain menawarkan pengurangan jam kerja, Sepakatdi14 juga merekomendasikan jeda di antara waktu shooting selama 8 jam untuk waktu istirahat.
“Langkah awal mengurangi jam kerja ini kita mulai dari mengajak pekerja film terlebih dahulu, meski adat sejumlah penolakan. Namun, perubahan ini perlu dimulai dengan memberikan kesadaran terkait pentingnya jam kerja layak,” ujar Bimo. (H-1)