26 May 2023, 21:29 WIB

Implementasi UU PKDRT Alami Kemunduran


Atalya Puspa |

DIREKTUR Eksekutif LBH Apik Jakarta Siti Mazuma mengungkapkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) disahkan sejak 2004, namun implementasi UU itu justru mengalami kemunduran.

"Dua dekade sistem hukum yang ada di UU PDKRT mengalami kemunduran dan semangat implementasi UU ini semakin berkurang," kata Siti dalam acara peluncuran buku Jelang 2 Dekade UU PDKRT, Jumat (26/5).

Siti yang aktif dalam forum pengada layanan (FLP) untuk perempuan korban kekerasan di 32 provinsi menyatakan, hingga kini korban kekerasan masih menemui banyak kendala untuk membawa kasus KDRT ke ranah hukum. Alasan utamanya ialah masih lemahnya kapasitas aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan UU PKDRT.

Baca juga: Kasus KDRT Putri Balqis dan Bani Bayumin, Kapolda Metro Ditelepon Menkopolhukam 

Ia menyebut, untuk menangani kasus KDRT, APH kini masih bertumpu pada UU KUHP yang mengharuskan adanya dua orang saksi dan bukti. Padahal, dalam UU PKDRT, cukup hanya satu saksi dan satu barang bukti untuk membuktikan kasus KDRT.

"Saya sejak 2011 terlibat di lapangan, dulu APH sangat gerak cepat selama 24 jam menangani kasus KDRT, tapi semakin ke sini semakin berkurang. Justru korban dilaporkan balik, dan malah pelaporan balik itu yang diproses dengan cepat," beber dia.

Baca juga: Lengkap! Ini Penjelasan Polres Depok soal Penahanan Korban KDRT Putri Balqis di Depok

Hal lain yang menjadi penghambat implementasi UU PKDRT ialah faktor ketergantungan ekonomi korban KDRT kepada pelaku KDRT, sehingga banyak korban yang mau tak mau berpasrah atau malah mencabut laporannya demi tetap mendapatkan nafkah. Di sisi lain, masih ada juga stigma dan kriminalisasi masyarakat kepada korban KDRT.

Untuk itu, Siti menilai perlu adanya upaya peningkatan implementasi UU PKDRT guna menangani kasus KDRT dengan tegas. Hal terpenting ialah dengan meningkatkan kapasitas APH yang memiliki perspektif pro terhadap korban.

"Perlu adanya diklat, pelatihan khusus bagi APH dalam menangani kasus KDRT. Ini bisa menjadi konsentrasi hakim dalam menyidangkan kasus-kasus yang tidak terpenuhi haknya," ungkap dia.

Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan kesadaran bahwa KDRT seharusnya masuk ke ranah hukum dan korbannya perlu dipulihkan p.

"Jadi untuk semua pihak, Komnas Perempuan, anggota DPR, penting sekali untuk mengingat bahwa kita punya UU PKDRT, tapi pada tataran implementasi masih sangat kurang. Mohon ini tidak hanya jadi beban teman-teman pendamping saja tapi juga bersama-sama," pungkas dia.

Pada kesempatan itu, anggota DPR RI Komisi 7 Ribka Tjiptaning mengakui, meskipun DPR memiliki hak untuk membahas, membuat dan mengawasi UU, namun pengawasan implementasi UU seringkali memang terabaikan.

"Kita memang akan berpuas ketika UU sudah disahkan, tapi kita gak tahu ternyata implementasi di lapangan itu gak jalan," ungkap dia.

Untuk itu, demi menguatkan UU yang sudah disahkan selama dua dekade itu, Ribka meminta semua pihak, khususnya masyarakat untuk menyadari pentingnya pencegahan KDRT di lingkungan.

"Kalau UU ini gak diimplementasikan, nasib perempuan akan tetap sama dan KDRT akan tetap terjadi. Ini tinggal semangat kita bersama untuk mensosialisasikan implementasinya dan menegaskan kepada semua perempuan kalau kita semua harus menjadi kuat," pungkas dia. (Ata/Z-7)

BERITA TERKAIT