PENASIHAT Lembaga Kebijakan Publik Paramadina Totok Amin Soefijanto mengatakan pendirian kampus asing di Indonesia memiliki kekurangan dan kelebihan. Di satu sisi, ada peluang baik yang mungkin dapat diadopsi oleh pendidikan Indonesia seperti kekuatan riset dan sistem pengajaran kelas dunia.
Namun, di sisi lain ada tantangan yang mungkin tak kalah besar jika kampus asing berdiri di Indonesia. Totok menyebut tantangan kompetisi pasar antar perguruan tinggi dari asing akan menggerus kesempatan dari perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).
“Perguruan tinggi yang ada di Indonesia sendiri sudah terlalu banyak, data terakhir menyebut ada 4.231. Sebenarnya dengan begitu banyaknya perguruan tinggi, yang harus kita kejar adalah kualitas. Bukan hanya kuantitas. Banyak perguruan tinggi yang kecil, secara ekonomi mungkin terjangkau tetapi tidak layak beroperasi, ini masih jadi problem kita,” ucap Totok dalam diskusi ‘Kampus Asing: Peluang dan Dampaknya terhadap Perguruan Tinggi di Indonesi’, Jumat (24/2).
Selain itu Totok juga menyampaikan banyak perguruan tinggi swasta yang banyak sekali kontraproduktif untuk bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul. Banyak TPS didirikan yang akhirnya berorientasi pada bisnis semata. Bukan menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki daya saing.
Totok juga menyebut pendirian kampus asing di Indonesia akan memungkinkan tergerusnya kearifan lokal yang ada di Indonesia. Kurikulum dan non-kurikulum yang digunakan, kata dia, masih sangat tidak sensitif untuk membangun kesadaran lokal, kearifan lokal serta rasa kebangsaaan.
“Banyak lulusan luar negeri, dari kampus asing, misalnya ambil Bisnis, mereka semata-mata hanya punya kompetensi bisnis. Sehingga ada semacam perasaan saya tidak peduli apakah saya harus memikirkan nasib penduduk keluarga miskin dan sebagainya. Saya kira masih kurang sensitif. Jadi, egosentrismenya masih kuat. Yang penting saya untung,” tutur Totok.
“Itu dulu yang diasah, selain kompentensi yang sifatnya memang berguna. Tetapi paling tidak bisa mengasah jiwa sosialisme kita. Di sini kampus asing perlu memiliki kurikulum yang akrab dengan pengabdian masyarakat,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Kelembagaan Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbud Ristek Lukman menyampaikan peluang dan dampak yang mungkin dirasakan apabila kampus asing ada di Indonesia yakni dapat memberikan alternatif kepada mahasiswa yang akan berkuliah di kampus kelas dunia.
“Dengan biaya lebih murah, tidak perlu ke kampus asal, namun ijazah diakui di seluruh dunia,” kata Lukman.
Selain itu, dampak positif yang juga mungkin dapat dirasakan di sektor pariwisata di Indonesia. Menurut Lukman, pendirian kampus asing secara tidak langsung akan mempromosikan sektor pariwisata dan kekayaan alam di Indonesia. Sehingga semakin banyak turis yang akan mengunjungi Indonesia.
“Kemudian adanya kolaborasi antar peguruan tinggi luar negeri dengan perguruan tinggi di Indonesia sehingga terjadi percepatan perguruan tinggi kelas dunia. Menjadi pemicu dan pemacu perguruan tinggi di Indonesia untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya sehingga dapat setara dengan perguruan tinggi kelas dunia pula,” ucap Lukman.
Lebih berdampak
Meski masih dilematis, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Nadia Fairuza Azzahra menuturkan kampus asing mungkin akan lebih berdampak apabila berdiri di kawasan ekonomi khusus (KEK).
Kawasan ekonomi khusus merupakan daerah yang dirancang untuk mempercepat pembangunan ekonomi dengan mendorong pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan daya saing tinggi. Nadia mengatakan sejauh ini KEK telah dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia, berdasarkan potensi demografis dan aksesibilitas kawasan tersebut ke pasar global.
“Mekanisme perizinan kampus asing di wilayah ekonomi khusus juga harus lebih ketat. Selain itu kampus asing yang ingin berdiri di wilayah ekonomi khusus harus berada di 100 besar dunia. Sementara kampus di luar kawasan ekonomi khusus harus berada di ranking 20 besar dunia,” kata Nadia. (H-2)