PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan serta Kemandirian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diharapkan bisa segera rampung. Pasalnya, belum lama ini kurang lebih 199 nyawa usia anak hilang lantaran gagal ginjal disebabkan senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG)
Jejak digital juga merekam peristiwa peredaran vaksin palsu DPT/HIB untuk anak pada Juli 2016 yang melibatkan sedikitnya 37 fasilitas kesehatan, termasuk 14 rumah sakit ternama. Hingga teranyar, puluhan korban keracunan pangan olahan bernitrogen cair yang digemari anak dengan sebutan Chiki Ngebul. Rangkaian kejadian itu menyadarkan publik atas perlunya penguatan pada sistem pengawasan obat dan makanan yang paripurna sehingga masyarakat merasa lebih terlindungi dari paparan produk berbahaya bagi kesehatan.
Ahli Farmakologi dan Farmasi Klinik dari Universitas Padjadjaran Bandung Keri Lestari menyampaikan, tantangan bagi otoritas pengawas obat dan makanan menjadi dua bagian, yakni faktor keamanan dan kemandirian yang harus berjalan pararel dengan tujuan yang sama. Pada tantangan untuk menghadirkan produk yang aman, jangan sampai berimplikasi pada proses birokrasi panjang, rumit, bahkan membutuhkan biaya besar.
Seperti diketahui, industri farmasi nasional memproduksi sekitar 90% dari total volume obat nasional dengan berbagai jenis tablet, sirop, injeksi, kapsul, inhalasi dan berbagai produk obat lainnya. Namun, sekitar 5% dari ragam obat sirop yang sempat beredar yang tercemar, dan kurang dari 2% dari total obat yang beredar yang tercemar. Sementara itu, lebih dari 94% obat sirop lainnya layak dikonsumsi.
"Hal ini menunjukkan mayoritas sistem pengawasan kualitas produksi industri farmasi dan sistem pembinaan oleh BPOM secara mayoritas sudah berjalan baik, meski di sisi lain ada penyebab spesifik yang menyebabkan permasalahan pada obat sirop," ungkap Keri dalam keterangan resmi tang diterima.
Pengawasan obat dan makanan masih memerlukan penguatan payung hukum berupa undang-undang. Setiap kelembagaan yang diberikan tugas untuk melaksanakan pengawasan obat dan makanan memiliki independensi dan kewenangan yang kuat dalam melaksanakan tugasnya.
“Kemandirian lembaga BPOM diharapkan juga mempertegas tanggung jawab hukum manakala timbul persoalan keamanan produk obat dan makanan di masyarakat, sehingga tidak terjadi saling lempar antarinstansi,” kata dia.
Keri menyebut, kemandirian BPOM justru menghadirkan tugas berat. Di satu sisi harus beradaptasi pada standar internasional, tapi di sisi lain dihadapkan pada tuntutan pelayanan dalam negeri yang sesekali memerlukan diskresi terhadap kondisi tertentu.
“Contohnya, fleksibilitas pada perizinan obat herbal yang telah memenuhi bukti empiris karena sudah digunakan dalam jangka waktu yang lama di masyarakat, sehingga tak perlu lagi uji toksisitas subkronik yang berbiaya besar serta waktu proses yang panjang,” jelas dia.
Baca juga: Kesehatan Mental Adalah Fondasi untuk Masa Depan Anak
Selain itu, lanjut Keri, stigma tentang rumitnya sistem birokrasi yang ditempuh saat berhubungan dengan BPOM perlu diperbaiki melalui komunikasi publik yang lebih baik. Misalnya seperti edukasi tentang pemenuhan prosedur persyaratan yang sesuai, sehingga lebih mempermudah serta mempercepat terbitnya izin. Guna mewujudkan kemandirian tersebut, BPOM juga perlu memastikan hadirnya ekosistem pendukung yang sesuai harapan stakeholder.
“Mungkin, kalau sekarang BPOM belum sesuai dengan harapan stakeholder, karena kemandiriannya belum full karena harus juga berkoordinasi dengan lembaga lain," katanya.
Kepala BPOM Penny K Lukito mengutarakan kerisauannya tentang keterbatasan wewenang penindakan hukum. Salah satunya dalam hal pengungkapan kasus peredaran makanan ilegal yang melibatkan jejaring online, di mana otoritas berwenang ada pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI.
"Kelihatannya, kami tidak berdaya dengan online. Hanya bisa takedown, mati satu, tumbuh lagi 1.000. Sanksi diberikan manakala ada koordinasi dari BPOM dengan Kominfo," katanya.
Tak jarang pula, segala bentuk penegakan hukum yang dikaitkan dengan produk obat dan makanan di Indonesia selalu memperoleh hukuman percobaan kepada pelaku. Sangat jauh dari hukuman 10 tahun penjara sesuai Pasal 196 UU Kesehatan.
Dalam proses pengawasan produk obat dan makanan hingga sampai ke tangan konsumen diatur dalam ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), hingga cara pelayanan baik, dibutuhkan integritas petugas terkait dalam mengawal kepatuhan sistem tertutup itu, sehingga kecil kemungkinan terjadi permasalahan.
Namun dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, hanya mengatur mengenai Tenaga Pengawas yang memiliki tugas melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan, tidak mengatur secara jelas termasuk Tenaga Pengawas di bidang obat dan makanan pada jabatan fungsional seperti, inspektur CPOB, inspektur CDOB, inspektur pangan, penyuluh keamanan pangan, dan evaluator.
RUU Pengawasan Obat dan Makanan diharapkan dapat memperkuat posisi BPOM dalam menjalankan tugasnya, salah satunya melakukan pengawasan terhadap edar obat dan makanan yang dilandasi payung hukum yang kuat dalam mewujudkan citra sebagai pelindung masyarakat. (R-3)