Dr Elisabeth Schroeder-Butterfill dari Fakultas Ilmu Sosial di University of Southhamton, UK, memaparkan hasil studi komparatif terkait perawatan Lansia di Indonesia. Studi perawatan Lansia yang dilakukan di lima provinsi, yaitu DKI Jakarta, Sumatra Barat, DIY, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Dari studi tersebut, Elisabeth menyampaikan empat rekomendasi terkait perawatan lansia di Indonesia dari hasil penelitiannya. Pertama, hambatan penggunaan layanan kesehatan pada lansia harus diatasi. Misalnya, rumah sakit atau puskesmas memberikan jam buka khusus dengan waktu pendek untuk Lansia dan penyediaan transportasi serta pendamping untuk datang ke RS dan Puskesmas.
Kedua, layanan kesehatan harus menjangkau lansia. Kunjungan rumah oleh petugas kesehatan bagi lansia yang sudah tidak bisa keluar rumah sangat dibutuhkan.
"Selain itu, kunjungan perawatan rumah oleh kader terlatih harus dilaksanakan untuk memantau situasi lansia yang memiliki ketergantungan perawatan, memberikan bantuan dalam tugas perawatan, dan mendukung keluarga pengasuh lansia," kata dia di University Club, Sleman, DIY, Selasa (10/1/2023).
Ketiga, relawan perawatan kesehatan dan pengasuh informal lansia membutuhkan pelatihan. Pelatihan tersebut juga menjadi bentuk pengakuan pemerintah terhadap mereka. Selain itu, insentif dalam bentuk renumerasi skala kecil, pelatihan, atau imbalan nonfinasial juga dibutuhkan bagi mereka.
Keempat, lansia memerlukan perlindungan sosial dan ekonomi. "Lansia perlu dukungan keuangan yang dapat diandalkan supaya kebutuhan obat, alat bantu, gizi dan transport bisa dipenuhi. Sistem Pogram Keluarga Harapan (PKH), walaupun diapresiasi, kurang konsisten dan tidak mencapai semua lansia yang perlu bantuan ini," kata dia.
Studi Komparatif Perawatan Lanjut Usia telah dilakukan sejak 2019. Studi ini merupakan kerjasama Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta dan University of Southampton (UK), bersama dengan Loughborough University (UK) dan Oxford University (UK). Tujuannya adalah untuk memahami siapa yang terlibat dalam perawatan lansia, apa preferensi dan kebutuhan lansia, dan bagaimana keluarga lansia dapat didukung oleh layanan kesehatan, lembaga pemerintah, dan non-pemerintah.
Salah satu temuan menarik dalam studi tersebut, kata Elisabeth, adalah sikap meluas tentang kesehatan yang buruk adalah wajar di masa tua, yang biasa disebut "sakit tua".
"Itu berarti bahwa orang berpikir, tidak ada gunanya membawa lansia ke dokter. Banyak yang menyebutnya 'sakit tua'. Istilah "sakit tua" berarti menormalkan kesehatan buruk pada lansia yang perlu ditentang di semua lapisan masyarkat, dimulai dari para profesional kesehatan.
Faktanya, stroke, diabetes, rematik, penglihatan yang buruk, tuli, batuk, masalah gigi, hingga kelemahan otot, yang ditemukan pada lansia, bisa dicegah, dikurangi atau bahkan disembuhkan. Upaya-upaya mengatasi penyakit yang biasa diderita lansia tersebut dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi lansia.
Sementara itu, Prof Yvonne Suzy Handayani dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, manyampaikan, pihaknya melakukan penelitian di salah satu kelurahan di Tambora, DKI Jakarta. Dari penelitian tersebut, dirinya menemukan data, 31,7 lansia di wilayah tersebut termasuk dalam rumah tangga di bawah garis kemiskinan.
Pihaknya juga mencatat, 4,8 persen lansia mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dan 27,8% mendapat bantuan beras sejahtera (Rastra).
Yvonne mengatakan, sakit yang sering diderita oleh lansia di wilayah tersebut adalah sakit sendi (68,3%) dan sakit kepala, pusing, dan vertigo (51,6%). Mereka sebagian besar tidak mengetahui penyebab penyakitnya. Selebihnya, mereka beranggapan, sakitnya disebabkan oleh kelelahan ataupun faktor penuaan.
Selain itu, 34,1 persen dari lansia di tempat tersebut mengalami gangguan kognitif ringan dan 19,8% mengalami dimensia. (OL-13)
Baca Juga: Gelombang Covid-19, Pasien Lansia Penuhi Rumah Sakit di ...