PAKAR teknologi informasi Richardus Eko Indrajit berpendapat etika berkomunikasi di dunia digital, terutama melalui media sosial, pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan dunia nyata.
Menurut dia, masyarakat dan generasi muda kerap menganggap diri mereka dapat memiliki identitas yang berbeda dengan dunia nyata ketika masuk di dalam dunia siber. Masyarakat juga kerap melupakan bahwa lawan bicara yang dihadapi di media sosial juga sama-sama manusia.
"Kenapa? Karena kita bukan berkomunikasi dengan mesin, kita berkomunikasi dengan manusia melalui perantara mesin melalui fasilitas mesin, tapi tetap yang kita bicarakan (ajak bicara) itu adalah manusia," kata Eko, yang juga merupakan Ketua Pengurus Besar PGRI sekaligus Rektor Universitas Pradita, dalam sebuah seminar, dikutip Minggu (18/12).
Baca juga: Staf Kepresidenan RI Ajak Santri Produktif dan Melek Medsos
Eko mengatakan, meski memiliki prinsip serupa, akan tetapi dua dunia tersebut memunculkan masalah dan tantangan tersendiri yaitu berupa umpan balik atau feedback yang berbeda.
Di dunia nyata, umpan balik dapat diberikan secara langsung di hadapan lawan bicara. Sebaliknya, di dunia siber, komunikator sama-sama tidak berhadapan secara langsung sehingga umpan balik yang diberikan bisa jadi menimbulkan kesalahpahaman atau ketidakpekaan.
Eko menyebutkan setidaknya terdapat delapan prinsip etika komunikasi digital yang telah menjadi standar yang digunakan di mana-mana antara lain sikap menghormati, bertanggung jawab, menetapkan aturan atau batasan suatu diskursus, menetapkan kejelasan pembahasan, mengedepankan transparansi, gunakan nada yang sopan, dan menghargai privasi.
Menurut Eko, cara berkomunikasi merupakan manifestasi dari suatu peradaban.
Di masa sekarang, menurut dia, tujuan komunikasi tidak lagi sekadar menyampaikan pesan tetapi juga dapat mendorong atau memengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu, bahkan meskipun itu negatif sekalipun.
"Kekuatan bahasa itu sekarang adalah untuk memobilisasi untuk mempengaruhi untuk membuat orang lain melakukan sesuatu dan ketika action yang diinginkan adalah hal-hal yang negatif nampaknya wajib untuk kita introspeksi," kata dia.
Sementara itu, Pendiri Lembaga Kupuku Indonesia Joseph Dharmabrata memandang bahwa generasi muda harus menyiapkan diri dengan beberapa kompetensi untuk menghadapi segala permasalahan yang terjadi di dunia.
Beberapa kompetensi itu di antaranya memiliki rasa ingin tahu dan peduli terhadap informasi yang didapatkan, memiliki kemampuan berpikir kritis, memiliki kemampuan untuk berinovasi, membekali diri dengan literasi, hingga mendorong dan membangun kolaborasi atau gotong royong di masyarakat.
"Dan itu akan sangat membantu bagaimana menyiapkan the man behind the gun supaya segala permasalahan paling tidak diredam dan dikurangi karena generasi muda sendiri itu sadar bahwa dia perlu hal itu," kata Joseph. (Ant/OL-1)