PENELITIAN dari Universitas Stanford Johns Hopkins menemukan senyawa biosphenol-A (BPA) yang terkandung dalam produk plastik polikarbonat hingga makanan kaleng dapat mengontaminasi makanan di dalamnya. Penelitian serupa yang dipublikasikan di Environmental Research juga menyebut semakin banyak mengonsumsi makanan kaleng, akan berpeluang bagi seseorang untuk terkontaminasi BPA.
Melihat hal tersebut, Pakar Kimia dari Departemen Kimia Universitas Indonesia Agustino Zulys meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) segera melakukan uji laboratorium terhadap paparan BPA yang ada dalam makanan kemasan kaleng.
"Pengujian tidak hanya terhadap kemasan galon guna ulang yang berbahan polikarbonat tetapi juga kemasan kaleng," kata Agustino dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (26/11).
“Badan POM perlu meneliti sejauh mana migrasi dari pelapis kaleng antikarat atau BPA yang terdapat dalam kemasan ke makanannya. Dalam hal ini, Badan POM bisa melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi,” ungkapnya.
Dia menuturkan, bahan makanan kemasan kaleng yang bersifat asam bisa memungkinkan BPA yang ada dalam lapisan kaleng terlarut.
"Oleh karena itu, makanan kaleng tidak boleh untuk makanan-makanan yang sifatnya asam,” imbuhnya.
Hal serupa dikatakan pula oleh pakar teknologi pangan dari IPB Azis Boing Sitanggang. Ia menyebut ada kecenderungan BPA dalam kemasan makanan kaleng itu bermigrasi ke bahan makanannya.
“Tapi, seberapa besar pelepasan BPA-nya kita tidak tahu. Karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” tuturnya.
Proses migrasi BPA dari kemasan kaleng itu bisa disebabkan beberapa faktor di antaranya proses laminasi BPA-nya, PH atau tingkat keasaman produk dalam kemasan kaleng itu dan pindah panas dari produk pangannya.
Dia mencontohkan sarden, jamur dan nanas yang dikalengkan itu proses perpindahan dalam suhu panasnya berbeda-beda saat disterilisasi. Sehingga perlakuan kombinasi suhu dan waktu pemanasannya juga berbeda-beda .
"Ketika itu beda-beda, berarti peluang migrasi BPA-nya juga berbeda-beda. Tapi, semakin asam bahan makanannya atau PH semakin rendah, kemungkinan besar bisa merusak laminasi epoksinya,” tukasnya.
Baca juga: Penelitian Bahaya BPA di AS hanya pada Kemasan Kaleng
Pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahmad Zainal Abidin mengatakan kemasan kaleng yang sudah rusak alias penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat. Hal itu disebabkan pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasannya, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya.
"Jika itu terjadi, kemungkinan makanan atau minuman yang ada dalam kemasan itu bisa beracun,” ucap Ahmad.
Terpisah, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan POM Rita Endang mengungkapkan hal itu sudah menjadi isu global dan berbagai negara telah menerapkan regulasi, seperti pelabelan BPA pada produk kemasan AMDK di Amerika, bahkan pelarangan produk kemasan yang berpotensi atau mengandung BPA di Prancis.
Saat ini, ada bermacam merek air minum dalam kemasan (AMDK) di pasaran namun konsumen yang bijak patut mencermati aspek keamanan dalam mengonsumsinya. Temuan hasil uji migrasi Bisphenol A (BPA) yang melebihi batas ambang toleransi pada produk kemasan plastik galon berbasis polikarbonat, berpotensi bahaya bagi kesehatan masyarakat sebagai konsumen.
Uji terhadap produk tersebut dilakukan oleh Badan POM RI melalui survei pada beberapa kota besar di Indonesia.
Atas dasar temuan tersebut dan berbagai pertimbangan untuk kepentingan publik, Badan POM telah mempersiapkan regulasi pelabelan pada produk kemasan air minum dan makanan yang berpotensi mengandung BPA.
"Jaminan keamanan dan kesehatan konsumen dalam penggunaan kemasan untuk air minum dalam kemasan (AMDK), adalah kemestian yang harus dikawal oleh pemerintah, produsen dan konsumen," ungkap Rita.(OL-5)