17 November 2022, 21:45 WIB

Pesta Raya Flobamoratas Untuk Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Lokal


Palce Amalo |

PESTA Raya Flores, Sumba, Timor, Rote, Alor, Lembata, dan Sabu (Flobamoratas) akan digelar di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai 18-19 November 2022. Kegiatan ini mengangkat berbagai kearifan lokal dari seluruh daerah di NTT yang dikemas dalam pertunjukan musik, lagu, film, pameran kain tradisional, dan festival kuliner bertema 'Sound of Earth''. 

Pesta raya ini menjadi satu benang merah karena budaya warga NTT kaya akan hal positif yang mendukung perilaku menjaga lingkungan. Kegiatan dibuka Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno secara daring dalam diskusi dan peluncuran Pesta Raya Flobamoratas yang digelar di Aula El Tari Kupang, Kamis (17/11).

"Saya berharap kegiatan ini dapat memberikan pandangan luas dan perspektif baru akan perubahan dan solusi iklim lokal yang dikemas dengan cerita yang menarik, meliputi kebudayaan dan kearifan lokal, sehingga menjadi kekuatan bagi masyarakat Indonesia untuk menghadapi tantangan yang ada," kata Sandiaga.

Sandiaga berharap rangkaian kegiatan pesta raya berjalan lancar dan sukses sehingga dapat mendorong kebangkitan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya demi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. 

"Mari bersama kita dukung upaya masyarakat NTT untuk berinovasi dan beradaptasi untuk terus optimis dan maju serta dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi daerah-daerah lain untuk peduli pada isu perubahan iklim," tambahnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT Ondy C. Siagian mengatakan, pemerintah daerah memiliki target dan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Menurutnya, pemerintah melakukan penguatan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim kepada masyarakat, serta peningkatan kesejahteraan melalui program Kampung Iklim (Proklim).

"Namun yang paling penting dari setiap program adaptasi dan mitigasi saat ini, yaitu membangun kepemimpinan di masyarakat dan anak muda yang punya kepedulian tinggi pada lingkungan dan memberikan kesempatan kepada mereka, dan membangun kemitraan strategis seperti yang saat ini kita lakukan bersama Suara untuk Aksi Perubahan Iklim Berkeadilan (Voices for just Climate Ation/= (VCA) di Nusa Tenggara Timur," jelasnya.

Aktivis perempuan dan lingkungan, Aleta Baun mengatakan, perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Karena itu, menurutnya seluruh orang perlu mencintai lingkungan, mengelola alam secara arif dan bijaksana, sekaligus mengingat sosok Ibu dengan memastikan keterlibatan perempuan dalam setiap aksi dan program kita.

"Alam memberi kehidupan dari pangan, sandang, dan papan. Di rumah kita dan di masyarakat pada umumnya, perempuan berperan dalam menyediakan kebutuhan hidup, itu kebiasaan perempuan NTT," kata Aleta Baun.

Pembicara lainnya dalam sesi diskusi tersebut yakni Yurgen Nubatonis dari Larantuka, Flores Timur menyebutkan, krisis ekologi dan perubahan iklim masalah bersama.

"Kita punya cara ampuh untuk menyuarakan ini sesuai cara anak muda. Kami dari Larantuka tidak sendirian. Ada ratusan komunitas di NTT yang sudah melakukan aksi secara terus menerus melalui sudut pandang budaya dan alam, seperti dari tutur cerita hidup bersama harmonis dengan alam atau dongeng," katanya.

Sementara itu, Arti Indallah Tjakranegara, Voice of Climate Action Country Engagement Manager, Yayasan Hivos Indonesia mengatakan, partisipasi masyarakat sangat berarti dalam adaptasi perubahan iklim, seperti kelompok perempuan, anak muda, dan kelompok marjinal lainnya.

"Pesta Raya Flobamoratas merupakan sarana menyuarakan aksi dari kita, oleh kita, untuk kita, menjadi ruang belajar yang inspiratif, dan 
terinspirasi mereplikasi aksi tersebut," tutupnya. (OL-15)

BERITA TERKAIT