KOMISI IX DPR RI akan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menginvestigasi kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal pada Anak (GGAPA). Hal ini tercantum dalam kesimpulan Rapat Kerja antara Komisi IX DPR RI, Badan POM, Kementerian Kesehatan, GP Farmasi, IDAI, dan IPMG, Hari Ini (2/22/2022) di Gedung DPR RI Jakarta Pusat.
"Komisi IX DPR RI akan membentuk Panitia Kerja terhadap Sistem Jaminan Keamanan dan Mutu Obat untuk menginvestigasi lebih dalam, termasuk mengelaborasi tata kelola kefarmasian dari hulu ke hilir, demi mencegah Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) seperti kejadian GGAPA," kata Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Nasdem Felly Estelita Runtuwene.
Dalam laporannya kepada DPR, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melaporkan penambahan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal pada Anak (GGAPA) mencapai 325 kasus per 1 November 2022. DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten menjadi provinsi dengan jumlah kasus tertinggi.
"Sementara kasus yang meninggal sebanyak 178 kasus dari 325 kasus atau sekitar 54%. Secara presentase ini sudah menurun dari kondisi sebelumnya yang sempat mencapai hampir 60%," kata Budi.
Menurutnya, penurunan kasus GGAPA setelah pemerintah melakukan pelarangan konsumsi dan penjualan obat sirop. Sebelumnya penambahan kasus mencapai 6-10 kasus per hari, mulai 23 Oktober penambahan kasus 4-1 kasus per hari. Sementara kasus kematian juga menurun setelah diberikan antidotum atau obat penawar Fomepizole di 17 rumah sakit di Indonesia.
Namun, Komisi IX DPR menganggap hal itu belum cukup dan mendesak Menkes dan Kepala Badan POM untuk bertanggungjawab menyelesaikan kejadian GGAPA pada anak, secara serius dan cepat dalam menuntaskan investigasi berbasis epidemiologis.
"Guna memastikan penyebab GGAPA secara transparan, objektif dan penuh tanggung jawab," tegas Felly.
Pemerintah juga diminta memberikan kompensasi kepada para keluarga korban GGAPA yang meninggal, serta menjamin pengobatan bagi anak-anak kasus GGAPA yang masih dalam perawatan sampai sembuh dan mengupayakan kesembuhan mereka.
"Pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan kepada Industri yang terbukti melanggar standar sediaan farmasi dan meningkatkan koordinasi lintas sektor untuk penanganan yang lebih komprehensif dan komunikasi publik dengan informasi yang lebih jelas, valid dan solid," ujar Felly.
Komisi IX DPR mendesak Badan POM bertanggung jawab penuh meningkatkan pengawasan terhadap sediaan farmasi, baik pengawasan pre market dan pengawasan post-market, sebagai bagian dari tugas pokok dan fungsi Badan POM.
Untuk itu, Komisi IX DPR RI mendesak Badan POM RI untuk meningkatkan pengawasan terhadap bahan baku obat/bahan tambahan obat agar sesuai dengan mutu baku standar, menindak secara tegas industri farmasi yang terbukti melanggar standar dan keamanan produk, dan meningkatkan pembinaan terhadap industri farmasi yang tingkat maturitasnya rendah dan sedang.
"Serta memperkuat sistem farmakovigilans bersama seluruh pihak terkait sebagai bagian dari deteksi dini Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD). Memastikan industri farmasi bertanggungjawab dalam pemenuhan mutu, khasiat dan keamanan produknya," pungkasnya. (H-2)