25 October 2022, 23:15 WIB

143 Anak Meninggal, Desakan KLB Gagal Ginjal Akut Makin Kencang


Dinda Shabrina |

SUDAH 143 anak Indonesia meninggal dunia karena gagal ginjal akut. Melihat tingginya angka tersebut, Ombudsman RI mendesak agar pemerintah segera menetapkan Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) sebagai kejadian luar biasa (KLB).

“Dengan penanganan ditetapkannya KLB, diharapkan juga terpenuhinya standar pelayanan publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium sampai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP),” kata Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng kepada Media Indonesia, Selasa (25/10).

Sebelum Ombudsman, desakan penetapan KLB juga datang dari epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman, anggota dewan pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra, Ketua DPR RI Puan Maharani dan Wakil Ketua DPD RI Mahyudin.

Selain itu, Robert juga menuturkan perlu adanya pembentukan satuan tugas khusus dalam penanganan kasus GGAPA. Koordinasi dan sinergi dengan pemerintah daerah dan BPJS Kesehatan terkait pembiayaan pasien juga harus dipikirkan.

“Kami minta adanya sosialisasi sampai tingkat desa, akses informasi yang tepat, cepat dan tuntas. Serta harus adanya ketersediaan obat gagal ginjal akut dan penggunaannya bagi pasien BPJS Kesehatan,” ujar Robert.

Ombudsman RI juga mendesak kasus GGAPA yang telah memakan korban ratusan anak ini perlu adanya tindak lanjut dalam pengawasannya dengan melakukan sidak ke lapangan serta pemanggilan pihak yang terlibat.

Robert menyebut Ombudsman juga telah menemukan adanya potensi maladministrasi dari pihak Kemenkes maupun Badan POM karena tidak optimal dalam melakukan tugas mereka. “Sejak penyediaan data yang bagi kami tidak komprehensif dan masih diragukan validitas jumlah korban yang menderita. Baik itu yang sedang sakit maupun yang meninggal,” tutur Robert.

Robert juga menyampaikan pihaknya menyoroti adanya kelalaian dari Badan POM dalam pengawasan pre market atau proses sebelum obat didistribusi dan diedarkan sampai pada proses pengawasan setelah produk beredar.

“Kita menilai Badan POM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi. Ombudsman juga menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh Badan POM dengan implentasinya di lapangan,” kata dia.

“Potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes antara lain tidak memiliki data pokok terkait sebaran penyakit (epidemiologi) baik tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan/mitigasi kasus (GGAPA),” sambungnya.

Atas ketiadaan data tersebut, kata Robert, Kemenkes RI tidak dapat melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi GGAPA. Sehingga dapat diartikan sebagai ketiadaan keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait kasus GGAPA.

“Selain itu kami melihat juga ketiadaan stadarisasi pencegahan dan penanganan kasus GGAPA oleh seluruh pusat Pelayanan kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL). Sehingga menyebabkan belum terpenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium,” tandasnya. (H-2)

 

BERITA TERKAIT