25 October 2022, 07:25 WIB

Penyiapan Desa Tanggap Banjir di Kabupaten Bireuen


Dr Ir Eka Djunarsjah, MT |

DALAM beberapa tahun terakhir, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, acap mengalami banjir di beberapa tempat. Pada 2018, terjadi banjir yang menenggelamkan tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Peudada, Juli, Jeumpa, Kota Juang, Kuala, Peusangan Selatan, dan Jeunieb.

Kemudian, menurut Molana, pada 2019 terjadi banjir kembali yang menggenangi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Peusangan, Peudada, dan Juli. Lalu, pada 2020 terjadi banjir di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Gandapura, Makmur, Jeunieb, dan Pandrah.

Pada 2021, Kecamatan Jeunieb kembali mengalami musibah banjir. Selanjutnya, tahun ini sudah terjadi banjir di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Juli, Peusangan, Jeumpa, Kota Juang, dan Peudada. Berdasarkan pemberitaan yang dihimpun, banjir yang dinilai sangat parah terjadi pada 2022. Penyebab terjadi banjir diduga akibat hujan deras yang berlangsung relatif lama.

Sebagai bagian dari Program Pengabdian Masyarakat, tim Kelompok Keahlian Hidrografi ITB ‘turun ke lapangan’ untuk membantu masyarakat di kabupaten tersebut mendapat pemahaman komprehensif perihal banjir. Pemahaman yang diberikan kepada masyarakat tentang bencana banjir terutama terkait dengan penyebab dan dampak bahaya banjir sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan memberikan pemahaman terkait dengan adaptasi dan mitigasi bencana banjir.

Selain dilihat dari pendekatan yang dilakukan secara delineasi, tim pengabdian masyarakat juga melakukan kegiatan survei lapangan yang bertujuan melihat kondisi eksisting yang sebenarnya.

 

Empat aspek

UNESCO, pada 2006, menyebutkan banjir bandang membawa efek yang negatif bagi masyarakat. Dampak dari banjir dibagi atas empat aspek, yaitu dampak fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dampak fisik seperti kerusakan daerah tempat tinggal, termasuk lahan, ternak, dan fasilitas lain yang termasuk di dalamnya.

Dampak sosial seperti penurunan kemampuan produksi dan produktivitas manusia, yang bisa memiliki dampak lanjutan seperti kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Dampak ekonomi seperti manusia tidak bisa menjalankan kegiatan perekonomiannya dan harus mengungsi ke tempat yang aman, kegiatan menjadi terhenti, dan tingkat perekonomiannya menurun.

Dampak lingkungan antara lain kontaminasi limbah-limbah yang ada di sekitar lingkungan ke wilayah yang lebih luas. Dengan demikian, pengabdian masyarakat menjadi hal yang sangat penting untuk melindungi empat aspek tersebut.

Berangkat dari studi awal itu, Kelompok Keahlian (KK) Hidrografi merancang Program Pengabdian Masyarakat yang bertujuan mengintegrasikan pemahama komprehensif tentang kebencanaan, khususnya bencana banjir. Baik mengenai penyebab dan dampak banjir maupun strategi adaptasi dan mitigasinya. Program pengabdian berlangsung sejak Februari lalu dan diproyeksikan rampung pada November esok.

Tim melakukan wawancara dengan Abdul Jalil, Keucik (Kepala Desa) Teupin Mane. Dari wawancara dengannya, diketahui perihal desa lain yang sempat mengalami banjir lebih parah, yaitu Desa Juli Meunasah Tambo.

Tim lantas menyambangi desa di Kecamatan Juli tersebut dan mewawancarai Keucik Meunsah Juli Tambo, Mulyadi Abdisas, serta mantan Camat Juli, M Fuadi, pada akhir Juni 2022. Wawancara tersebut membuahkan keterangan tentang curah hujan yang terjadi tidak menentu pada November dan Desember. Kemudian, penyebab banjir yang terjadi ialah saluran irigasi yang kecil dan dipersempit dengan warga yang menanam rumput susu, untuk pakan ternak, di pinggiran saluran air. Fuadi juga menambahkan, banjir disebabkan air yang terbawa dari danau/ waduk dan tidak terdapatnya pintu air.

Banjir yang terjadi memiliki ketinggian lebih dari 150 cm. Adapun kerugian yang timbul ialah adanya rumah yang terendam dan kehilangan harta pribadi. Sementara itu, tempat evakuasi bagi para warga desa ialah meunasah.

Tim juga melakukan wawancara dengan Keucik Menunasah Pulo, Kamarudin. Setelah penjelasan infografis mengenai banjir, didapatkan hasil wawancara, bahwa banjir yang terakhir kali terjadi di Desa Meunasah Pulo terjadi pada 2015 sehingga hasil wawancara berdasarkan pengalaman pada tahun tersebut.

 

Terlibat

Menurut Purwana (2013), suatu masyarakat menyadari bahwa keterlibatan mereka dalam penanggulangan bencana sangat diperlukan. Hal itu secara tidak langsung akan memberikan keuntungan bagi mereka. Di sinilah perlunya manajemen yang bisa memberikan arahan dan aturan sehingga masyarakat bisa mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan untuk ke depannya.

Nenek moyang masyarakat Aceh selalu belajar dan becermin dari alam untuk menentukan kearifan lokal. Budaya gotong royong dalam menjaga dan mengamankan lingkungan yang dilakukan masyarakat Aceh, secara nyata, kearifan lokal tersebut merupakan bentuk peringatan dini yang efektif dalam menjaga lingkungan dari ancaman banjir. Pengetahuan lokal yang secara turun-temurun diberikan dalam mampu membuat masyarakat terhindar dari bencana.

Perlu adanya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat yang memberikan peningkatan kapasitas masyarakat dari segi fisik dan nonfisik. Kegiatan fisik seperti pemanfaatan lahan dengan tepat dan penyediaan tempat evakuasi. Sementara itu, peningkatan kapasitas nonfisik seperti mempelajari gejala alam untuk mengetahui tanda-tanda datangnya bencana, sampai saling mengingatkan di antara sesama untuk siaga dapat membentuk kesiapsiagaan sebagai budaya dalam komunitas masyarakat.

Upaya masyarakat dalam mitigasi banjir ialah menggunakan bangunan meunasah atau masjid sebagai area evakuasi. Area ini dipilih karena kondisi bangunan meunasah dan masjid dibuat lebih tinggi. Dalam proses evakuasi ini, Keucik dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memiliki peranan penting sebagai untuk memberikan arahan kepada masyarakat sekitar.

Dengan adanya Keucik dan sebagai pihak yang memberikan arahan mitigasi banjir, serta lokasi masjid dan meunasah yang sudah diterapkan untuk lokasi evakuasi, wilayah studi Kecamatan Bireuen sudah siap untuk menjadi area desa tanggap banjir. (M-2)

 

BERITA TERKAIT