KEJADIAN perundungan atau bullying terhadap difabel atau penyandang disabilitas terutama di sekolah tidak boleh menjadi suatu hal yang biasa dipandang oleh masyarakat ataupun negara. Bagaimanapun juga penyandang disabilitas itu adalah warga negara yang berhak mendapat perhatian ataupun perlindungan khusus karena mereka memiliki keterbatasan.
Pengamat Sosial Universitas Indonesia Rissalwan Habdy Lubis, ia mengkhawatirkan guru di sekolah tidak paham bagaimana caranya untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
"Saya kira muatan kurikulum memang belum banyak menjelaskan tentang inklusifitas, khususnya terkait penyandang disabilitas. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah pemahaman guru sebagai pendidik, tentang bagaimana seharusnya berinteraksi dengan penyandang disabilitas," ujar Rissalwan saat dihubungi pada Minggu (25/9).
Baca juga: Dukung Kegiatan Kampus Merdeka, PNM dan Unsoed Kerja Sama
Ia menambahkan bahwa edukasi mengenai substansi disabilitas masih sangat minim sehingga menyebabkan banyak terjadi komunikasi yang kurang tepat antara guru dengan penyandang disabilitas.
"Upaya edukasi juga masih sangat kurang, karena kembali lagi dengan kualitas pemahaman pendidik tentang substansi disabilitas ini," jelas.
Mengenai budaya masyarakat yang ada saat ini, ia mengatakan saat ini, upaya mendorong inklusivitas sudah mulai dilakukan secara masif.
"Dari segi budaya tradisional, anggapan bahwa disabilitas itu adalah aib tentunya masih ada. Tapi di era budaya pop, sudah mulai nampak upaya mendorong inklusivitas secara massif. Seperti misalnya iklan produk kecantikan yang menampilkan talent yang tuli atau iklan susu anak, yang menampilkan ibu yang tidak bisa melihat," tuturnya. (H-3)