DIREKTORAT Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terus mendorong kerja sama program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) antara perguruan tinggi dengan lembaga kursus dan pelatihan (LKP).
Terbaru, 4 perguruan tinggi negeri (PTN) mendatangani perjanjian kerja sama dengan 54 LKP se-Indonesia untuk program RPL. Lewat kerja sama itu, peserta LKP berkesempatan melanjutkan pendidikan ke PTN dan diakui kompetensinya yang dikonversi ke satuan kredit semester (SKS).
Empat PTN yang menerima program RPL ialah Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Surabaya, dan Universitas Terbuka.
Direktur Jenderal Diksi Kemendikbudristek, Kiki Yuliati menjelaskan, peserta harus menyiapkan portofolio terlebih dahulu sebelum mengajukan RPL melalui LKP. Selanjutnya, LKP akan mendaftarkan peserta tersebut ke perguruan tinggi.
"Yang harus disiapkan portofolio dan sertifikat yang relevan. Kalau saya RPL di Prodi (Program Studi, Red) Tata Rias atau Seni Tari, maka portofolio saya harus menunjukkan bahwa saya punya pengalaman ikut pagelaran, berbagai pertunjukan seni tari, dan kursus tari," terang Kiki di sela-sela penandatangan kerja sama antara empat PTN dan 54 LKP.
Angka SKS yang diakui juga tidak ada patokan. Menurut Kiki, nantinya perguruan tinggi yang memiliki otoritas untuk menilai kompetensi peserta LKP, sebelum disetarakan dengan SKS.
"LKP yang mendaftarkan (peserta) ke perguruan tinggi akan dinilai dulu, Anda bisa setara dengan kompetensi apa, baru bisa melanjutkan ke perguruan tinggi apa yang belum dikuasai," lanjut Kiki.
Kiki menjelaskan, peserta LKP yang mengikuti program RPL, akan dihitung kreditnya ketika melanjutkan ke perguruan tinggi.
Sebagai contoh, peserta kursus yang telah menjalani 1-2 tahun bisa diakui hingga 24 SKS, atau masuk di perguruan tinggi langsung di semester ketiga.
Baca juga : Naik jadi 412.041 Mahasiswa, UT Kokoh sebagai PT dengan Mahasiswa Terbanyak
Selain itu, perguruan tinggi yang boleh melakukan RPL juga tidak sembarangan. Sebelum diizinkan melakukan program tersebut, terlebih dahulu akan dinilai oleh Kemendikbudristek.
Sebab, untuk melakukan program RPL, perguruan tinggi harus sudah memiliki perangkat, tata cara penilaian, asesor, dan sistem untuk menjaga program ini.
"Perguruan tinggi yang boleh melakukan RPL itu 99,9 persen adalah perguruan tinggi yang punya reputasi baik, sistem bagus. Kami memaksimalkan upaya agar tidak terjadi jual beli ijazah," tegas Kiki.
Plt Direktur Kursus dan Pelatihan Kemendikbudristek Wartanto menjelaskan, program itu berawal dari keprihatinan terhadap sertifikat peserta kursus, yang selama ini masih dipandang sebelah mata.
Kursus sering kali dianggap tidak mempelajari banyak hal. Padahal, menurut Wartanto, kursus justru melakukan pendalaman terhadap hal-hal yang bersifat spesifik.
"Contohnya, kursus otomotif tidak belajar A sampai Z. Rata-rata hal kecil, misalnya cuma belajar kaki-kaki, cuma soal kaca mobil, atau jok. Tapi, kecil itu dipelajari sampai dalam dan praktik. Makanya banyak yang akhirnya buka usaha servis kaki-kaki mobil," terang Wartanto.
"Dan dengan adanya rekognisi ini, membuka pintu masuk dunia akademik dan vokasi, dengan mamnfaatkan sertifikat yang sudah diakui," imbuhnya.
Tak hanya menguntungkan peserta kursus, karena bisa mendapatkan penyesuaian semester di perguruan, Wartanto mengatakan, program RPL juga membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk melebarkan sayapnya hingga ke daerah 3T.
"Rekognisi ini bisa melayani anak-anak yang berada di wilayah 3T, yang kesulitan kalau kuliah dan harus pindah ke kota akibat keterbatasan finansial. Contohnya UT, yang merancang pembelajaran yang bahannya dari kursus, akhirnya banyak teman-teman kita di daerah 3T bisa terlayani," tutup Wartanto. (RO/OL-7)