DENGAN lingkungan belajar yang tidak saling berhubungan langsung saat ini, institusi pendidikan mencatatkan peningkatan pelanggaran – baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Sementara faktor-faktor di balik pelanggaran akademik juga sangat banyak terjadi dan mungkin sulit untuk dijabarkan.
Satu hal yang pasti dengan terjadinya pelanggaran di lingkungan akademisi kerugian berupa konsekuensi serius pada kredibilitas institusi dan berimplikasi terhadap menurunnya kepercayaan calon siswa serta berdampak tidak langsung dengan dengan upaya pembangunan nasional.
Fenomena ini menghadapkan kita pada kenyataan bahwa sejumlah besar pendidik di Indonesia masih kesulitan dengan dengan perangkat yang mendukung bimbingan penuh kepada siswa dalam proses dan lingkungan pembelajaran secara hybrid.
Ketika siswa tidak memiliki dukungan yang memadai, mereka mungkin tidak menyadari atau salah informasi tentang apa yang merupakan pelanggaran akademik.
Lebih buruk lagi, itu juga dapat memicu hilangnya kontrol terhadap moral dan mendorong peserta didik untuk mengambil jalan pintas.
Sebuah survei terhadap 178 sarjana Indonesia menempatkan hilangnya moral yang berkembang ke model penilaian yang ada.
Studi ini menunjukkan bahwa kesulitan mengatasi stres yang tidak semestinya dari penilaian berisiko tinggi adalah faktor kunci.
Sementara itu, studi lain terhadap 150 siswa Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antara siswa dan guru telah mengalami pergeseran ke arah negatif dengan adanya lingkungan belajar secara online, memperlebar kesenjangan belajar dan mendorong siswa untuk melanggar etika dan standar.
Baca juga: Wapres: Segera Hentikan Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Menurut Yovita Marlina, Senior Manager, Customer Growth, Southeast Asia, Turnitin, studi-studi tersebut menunjukkan fakta bahwa cara-cara yang tradisional, serta cara mengevaluasi siswa perlu dipikirkan kembali, sehingga mereka lebih selaras dengan realitas dan harapan di era digital saat ini.
Ia juga menyampaikan dengan perubahan metode belajar pascapandemi yaitu hybrid, menurut Yovita, akan menjadi metode yang akan masih digunakan untuk jangka waktu ke depan.
“institusi pendidikan perlu memperhatikan secara langsung bagaimana siswa mereka menghadapi model dan kebiasaan pembelajaran baru," kata Yovita dalam keterangan, Jumat (9/9).
"Dengan pengamatan semacam itu akan dapat membantu pendidik menginformasikan bimbingan lebih lanjut bagi siswa, sehingga manfaat dari pembelajaran yang tidak saling berhubungan langsung dapat dirasakan” paparnya.
Sementara itu, Yovita juga menjelaskan bahwa institusi pendidikan juga dapat menjaga reputasinya dengan beralih ke kebijakan yang secara mendalam dapat mengurangi terjadinya insiden dan mengubahnya menjadi momen pembelajaran saat hal itu terjadi.
"Jawabannya terletak pada bagaimana interaksi di kelas bisa ditimbulkan dengan cara memberdayakan pendidik lebih proaktif dalam menawarkan instruksi dan memberikan umpan balik yang lebih responsif dan mencerahkan," jelas Yovita.
Ia juga menuturkan, mengatasi kurangnya akses juga penting untuk mencapai terjadinya hal ini, dalam pengaturan sistem pembelajaran online, sangat memungkinkan terjadinya kesamaan dalam pembelajaran dengan mendorong siswa untuk lebih aktif daripada menjadikan siswa terkucilkan.
Selain itu, pendidik harus diperlengkapi dengan kemampuan untuk membina hubungan yang kuat dengan siswa - serta hubungan peer-to-peer - untuk mengatasi hilangnya moral pada siswa sehingga dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan sistem pendidikan di Indonesia.
"Kebingungan siswa dengan konten pembelajaran seringkali dapat menjadi alasan kuat di balik pelanggaran etika seperti plagiarisme, yang mengakibatkan hilangnya kontrol siswa dari tujuan pembelajaran positif dari pribadi siswa," paparnya.
Sebuah studi oleh Heriyati dan Ekasari tentang hilangnya moral membuat kasus yang menarik untuk mengatasi apatis siswa, yang ditemukan sebagai faktor pendorong di antara para peserta.
"Fleksibilitas di pihak institusi untuk menyesuaikan diri dengan disrupsi saat ini yang dapat berdampak terhadap kesejahteraan siswa, hal ini sangat penting agar tercipta kesetaraan," ujar Yovita.
Tugas yang dihadapi lembaga pendidikan adalah memanfaatkan metodologi dan teknologi untuk menghasilkan evaluasi siswa lebih inklusif dari seluruh siswa lainnya, termasuk berbagai format penilaian dan terutama penilaian yang memiliki risiko rendah yang memungkinkan siswa 'gagal dengan aman' sebelum berdampak negatif pada nilai mereka.
Upaya tersebut disandingkan dengan metode evaluasi diri dimana mereka saling mengawasi antar siswa, untuk pembelajaran mandiri mereka.
Sementara pada saat yang sama, memelihara kemampuan untuk lebih baik dalam mengatur waktu mereka dan meningkatkan keterampilan kolaborasi dengan rekan-rekan dan tenaga pengajar.
Teknologi bekerja untuk pendidik dan pelajar
Yovita juga menjelaskan pentingnya peranan teknologi dalam dunia pendidikan.
Namun Ia juga menekankan bahwa penguasaan terhadap teknologi juga sanagat diperlukan.
Menurut Yovita, teknologi pendidikan menawarkan nilai yang signifikan melalui alur kerja intuitif dan penghematan waktu yang mengurangi beban administratif pada pendidik.
Selain itu, memungkinkan mereka untuk fokus pada apa yang harus mereka lakukan dan memberikan yang terbaik.
Pengalaman pandemi hanya menyoroti bahwa teknologi tidak dapat menggantikan pendidik, melainkan, berfungsi untuk memberdayakan mereka dalam mengatasi tantangan pendidikan di dunia saat ini.
“Inti dari adopsi edtech adalah memastikan pendidik dapat mengevaluasi kinerja siswa dengan mudah dan adil, hal ini untuk mendukung dan membantu siswa di setiap tahap perjalanan belajar mereka," katanya.
"Teknologi ini tidak hanya merampingkan alur kerja dan membuat penilaian berkelanjutan menjadi lebih layak, namun juga menawarkan analisis pembelajaran waktu nyata yang dapat dimasukkan kembali ke dalam praktik pengajaran untuk meningkatkan pengalaman pendidik dan siswa,” papar Yovita.
Institusi mulai menyadari bahwa teknologi pendidikan perlu memainkan peran yang lebih besar.
Terutama saat ini Ketika teknologi hybrid menjadi salah satu pilihan untuk metode pembelajaran.
"Bagaimana institusi Pendidikan dapat memanfaatkan alat-alat ini secara maksimal sehingga beriplikasi pada keberhasilan pembelajaran," katanya.
"Institusi juga dapat mempersiapkan diri dengan merangkul perusahaan penyedia teknologi yang tepat yang sejalan dengan pedagogi, serta penyedia teknologi yang mampu memprioritaskan pengalaman siswa dan guru, untuk saling mendorong dan memotivasi sehingga tercipta keselarasan dalam proses belajar," tuturnya. (RO/OL-09)