05 August 2022, 12:49 WIB

Perempuan Sumba Timur Jadi Penjaga Budaya Tenun Ikat


Dinda Shabrina |

TENUN Ikat Sumba Timur adalah warisan budaya turun temurun yang terus diperjuangkan kelestariannya oleh para perempuan penenun. Tenun Ikat tidak hanya indah secara fisik tetapi juga menjadi penopang ekonomi dalam keluarga. Di Sumba Timur terdapat lebih dari 100 perempuan penenun yang tidak pernah berhenti belajar meningkatkan keterampilan teknis.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dalam kunjungan kerjanya di Sumba Timur menyempatkan diri berkunjung ke Sekolah Tenun Ikat dan melakukan dialog dengan perwakilan perempuan penenun.

“Saya bangga dan memberikan apresiasi untuk para penenun yang tergabung dalam Sekolah Tenun Ikat ini. Para perempuan penenun ini adalah perempuan berdaya dan mandiri yang memiliki cita-cita untuk bisa tetap melestarikan budaya alam, berjuang menghasilkan karya yang luar biasa. Semangat mereka luar biasa untuk menjadikan tenun ikat sebagai keseharian, kebanggaan, sumber pendapatan dan identitas khas Sumba,” tutur Menteri PPPA dalam keterangannya, Rabu (3/8).

Sekolah Tenun Ikat Pahikung Berbasis Komunitas adalah pusat aktivitas dari 10 kelompok perempuan penenun yang ada di 10 desa dan diresmikan oleh Bupati Sumba Timur Khristofel Praing pada Maret 2021. Sekolah ini menjadi model pengembangan industri kreatif tenun ikat berbasis pengetahuan lokal dan modal sosial “Paraingu”.

“Komunitas perempuan penenun menyebar di Sumba Timur. Mereka adalah pejuang pelestarian budaya dan sudah memberikan kontribusi untuk perbaikan ekonomi keluarga. Kendala masih banyak dihadapi karena belum ada penambahan nilai yang berarti bagi para penenun ini. Harganya tinggi di pasaran tetapi belum banyak dinikmati oleh para penenun. Meski demikian kami dari pemerintah daerah mencoba bekerja sama dengan berbagai pihak untuk bisa membantu mencarikan peluang pasar,” ungkap Khristofel.

Baca juga: Rachmat Gobel Sarankan Patenkan Tenun Sumba

Menteri PPPA juga menyempatkan diri melakukan dialog dengan ibu-ibu penenun dan generasi muda yang diharapkan menjadi penerus budaya. Dalam dialog tersebut, beberapa kendala banyak dilaporkan di antaranya kesulitan mencari bahan alami seperti buah mengkudu untuk pewarnaan, mesin pengolah pewarna dan kesulitan mendapatkan peralatan alat tenun bukan mesin. Pemasaran yang masih terbatas juga banyak menjadi keluhan para penenun.

“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) adalah kementerian yang memiliki tugas dan fungsi koordinasi. Terima kasih sudah menyampaikan setiap kendala yang dialami oleh ibu-ibu semua,” ujar Bintang.

“Kami segera mengomunikasikan kepada Kementerian/Lembaga terkait yang sesuai dengan tugas dan fungsi untuk beberapa hal yang diharapkan bisa membantu seperti pelatihan peningkatan kapasitas dan peluang pemasaran. Dukungan juga kami harapkan dari pemerintah daerah dan Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) untuk membantu promosi pada setiap event atau kegiatan pameran,” tambah dia.

Sekolah tenun berbasis komunitas ini adalah harapan dan wujud dari amanat Presiden Joko Widodo yakni peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender. Tenun Ikat Sumba Timur sendiri memiliki 42 mata rantai produksi hingga menjadi kain tenun dan dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami dari daun, akar dan kulit daun, kulit batang/cabang dan akar serta daging buah.(OL-5)

BERITA TERKAIT