JURNAL Antropologi Indonesia menggelar The 8th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia (ISJAI 8) di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, 2-5 Agustus 2022 di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Sulawesi Utara. Simposium ini merupakan hasil kerja sama Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sam Ratulangi.
Simposium kali ini mengangkat tema 'Peran Antropologi Dalam Masa Multikrisis'. Tema ini diangkat sebagai respon terhadap krisis global yang multidimensi, mulai dari krisis perubahan iklim, lingkungan, ekonomi, gender, dan pandemi covid-19.
Bertindak sebagai keynote speakers adalah ahli antropologi seperti Prof. Mark Nichter dari Amerika Serikat dan Prof. Celia Lowe dari Amerika Serikat, Prof. Vedi Hadiz dari Australia, Dr. Anton Novenanto, dari Universitas Brawijaya, Indonesia, Dr. Rosalia Sciortino dari Thailand dan Dr. Bambang Supriyanto dari Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Dalam sambutan pembukaannya, Dekan FISIP UI Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto mengungkapkan pentingnya peran antropologi di masa krisis multidimensi ini. Dikatakan, dalam konteks masa kini ketika berbagai krisis datang, para ahli antropolog dituntut untuk memberikan penjelasan yang tajam, mendalam, dan holistik.
"Penjelasan atas satu persoalan tidak lagi bisa dipandang dari satu sudut pandang, satu kepentingan, dan satu penjelasan, tetapi harus lebih saling berkait. Di forum simposium ini, para ahli akan saling adu data, mendiskusikan temuan terbaru, dan menyempurnakan konsep untuk menghasilkan penjelasan terbaik," katanya.
Sedangkan Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, Ph.D menilai pemilihan lokasi simposium internasional di Manado ini adalah tepat untuk menunjukkan bahwa ada alternatif-alternatif perubahan yang bisa kita pelajari dari pengalaman lokal. Manado dipilih antara lain karena merepresentasikan wilayah Indonesia Timur yang telah lama menjadi perhatian para ahli antropologi di seluruh dunia. Bersama para peneliti sosial lainnya, mereka menghasilkan banyak teori dan penjelasan tentang struktur sosial, simbol, kekerabatan, kearifan ekologi, dan lain sebagainya. Etnografi yang empiris justru menjadi kekuatan untuk menangkap permasalahan yang benar-benar terjadi serta untuk mengetahui bagaimana strategi meresponnya.
Peran penting Manado dan Sulawesi Utara sebagai contoh kasus bagaimana komunitas lokal menghadapi berbagai krisis juga diungkap oleh Wakil Gubernur Sulawesi Utara, Drs. Steven Kandouw yang secara resmi membuka simposium. Ia mengungkapkan peran penting ilmu sosial, khususnya antropologi yang amat relevan dengan situasi multikrisis yang dihadapi umat manusia di masa kini, baik dalam tingkat lokal, nasional, bahkan global. Menurutnya antropologi merupakan wahana yang tepat untuk membantu mempelajarirespons manusia terhadap multi krisis yang terjadi, terutama dalam hal mengantisipasi.
"Lokasi Manado menjadi tepat sebab menurutnya Manado merupakan wilayah dengan 'koleksi ancaman bancana' yang lengkap, mulai dari banjir, tsunami, gempa bumi, hingga gunung meletus," jelasnya seraya berharap simposium internasional ini bisa memberikan sumbangan berharga tidak saja bagi ilmu pengetahuan namun juga untuk membantu umat manusia hidup dalam situasi seperti ini.
Sementara itu Dekan FISIP Unsrat, Dr. Novie R. Pioh, M.Si mengungkapkan masalah isu ekonomi masyarakat pada masa pandemi Covid-19. Ia menyatakan bahwa pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai, karakteristik, sifat dan perilaku masyarakat menjadi sesuatu yang amat penting untuk dipahami oleh para pembuat kebijakan, untuk dapat menentukan secara tepat kebijakan penanggulangan ekonomi masyarakat. "Dalam hal ini, antropologi memiliki peran yang penting," katanya. (RO/OL-15)