TANPA kita sadari, bahan berbahaya dan beracun (B3) ada pada benda-benda di dalam rumah dan lingkungan hidup sehari-hari. Jika terus berkontak dengan benda-benda yang mengandung B3, hal itu akan berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
"Sebenarnya B3 yang digunakan pada benda-benda kalau digunakan sedikit akan aman-aman saja. Karena lingkungan memiliki kapasitas asimilatif terhadap beban pencemaran. Karena lungkungan dengan dinamikanya bisa menyebar dan yang tadinya ada konsentrasi toxic jadi tidak. Tapi kalau terus menerus maka alam akan tidak mampu lagi menampung maka terjadilah pencemaran," kata Pakar Ekotoksikologi dari IPB University Etty Riani dalam Talk Show bertajuk Bahan Bahaya dan Beracun dalam Kehidupan kita yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (26/7).
Baca juga: Ahlussunnah Waljamaah, Dalil Keutamaan dan Maknanya
Etty membeberkan, ada banyak sekali benda-benda yang mengandung B3 di sekelililng kita. Misalnya saja kantong plastik sekali pakai yang dibuat dari bahan yang sama dengan BBM. Selanjutnya ada obat nyamuk yang mengandung pestisida dan bisa mecemari lingkungan dan berdampak buruk pada kesehatan manusia. Selain itu ada lampu yang mengandung merkuri, batu baterai, hingga cat tembok yang mengandung senyawa yang dapat menyebabkan kanker.
Etty menyebut, memang dampak dari benda mengandung B3 yang kita temui sehari-hari di lingkungan rumah tidak akan memperlihatkan dampak buruk pada kesehatan secara instan. Namun, senyawa berbahaya itu akan terakumulasi dan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dalam jangka waktu yang lama.
"Misalnya kanker. Jumlah frekuensi yang terus-menerus terpapar bahan B3 bisa memicu penyakit itu. Tapi kalau sedikit, dengan frekuensi yang rendah, dia bisa menimbulkan penyakit ginjal, atau penyakit-penyakit lainnya," ucap Etty.
Untuk itu, Etty berharap agar sosialisasi mengenai benda-benda sekeliling yang mengandung B3 harus terus dilakukan kepada masyarakat. Hal itu dilakukan agar masyarakat bisa memilih untuk menggunakan benda yang lebih ramah lingkungan dan jika terlanjur menggunakannya dapat mengelolanya dengan baik.
"Permasalahannya saat ini adalah masyarakat tidak mengerti dan membuat mereka tidak takut. Untuk itu harus dilakukan sosialisasi dengan membumi. Jangan menggunakan bahasa kahyangan," imbuh dia.
Pada kesempatan tersebut, Plt Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus Haryono mengungkapkan, dalam menentukan alternatif barang-barang yang aman bagi lingkungan dan kesehatan, inovator tentu harus memerhatikan berbagai aspek. Mulai dari harga yang dapat dijangkau masyarakat luas hingga efektivitas barang tersebut.
"Selain itu, akses informasi harus sebanyak mungkin diberikan ke masyarakat agar masyarkat tahu B3 mana saja dan akhirnya mereka bisa beralih ke barang yang lebih ramah lingkungan," ucap dia.
Dalam hal ini, Agus menyatakan pihaknya memberikan dukungan untuk membuka akses kepada peneliti yang memiliki inovasi baru untuk mengganti barang-barang rumah tangga yang mengandung B3 ke ramah lingkungan.
"Kami memiliki skema pendanaan Riset Indonesia Maju dan ada skema pemula berbasis riset untuk startup yang bisa membuat pengganti benda B3. Kami juga ada skema pengujian inovasi untuk memfasilitasi produk yang ingin dihilirkan dan kita biayai semua penelitiannya," jelas dia. (OL-6)