GURU Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada Zullies Ikawati mengungkapkan, urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar. Adanya ganja medis, kata dia, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan.
"Meski demikian, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat," kata Zullies dalam keterangan resmi, Jumat (8/7).
Ia menyatakan, posisi ganja medis sebenarnya merupakan alternatif dari obat lain yang tidak memberikan respon baik. Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan.
"Itupun dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas,” tegas dia.
Obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM, dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi. Menurut Zullies, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganjanya, karena potensi penyalahgunaannya akan besar.
"Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lain-lain walaupun alasannya adalah untuk terapi? Dikhawatirkan akan banyak penumpang gelap yang akan menumpang pada legalisasi ganja. Berapa persen sih pengguna ganja yang benar-benar butuh untuk terapi dibandingkan dengan yang untuk rekreasi?" tanya dia.
Baca juga: BRIN Dorong Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Air Bersih
Jadi mestinya, kata dia, yang dapat dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tapi obat yang diturunkan dari ganja dan yang sudah teruji klinis, yaitu cannabidiol.
Sampai saat ini, ganja masuk dalam narkotika golongan 1, demikian juga dengan THC dan delta-9 THC, sedangkan cannabidiol sama sekali belum masuk daftar obat narkotika golongan manapun. Untuk cannabidiol, dengan bukti-bukti klinis yang sudah ada, dan tidak adanya sifat psikoaktif, bahkan mungkin dimasukkan kedalam narkotika golongan 2 atau 3 dalam lampiran daftar obat golongan narkotika yang dibuat oleh Kemenkes dan dapat diupdate.
Ia menilai perlu koordinasi semua pihak terkait, yakni DPR, Kemenkes, BPOM, BNN, dan MUI untuk membuat regulasi untuk pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari cannabis, seperti cannabidiol, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya.
"Riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, dengan tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaannya," ucapnya.
Jadi, lanjut dia, perkembangan ganja medis mungkin bisa sama seperti morfin yang juga berasal dari tanaman opium/candu. Morfin adalah obat yang legal digunakan, selama diresepkan dokter dan digunakan sesuai indikasi seperti pada nyeri kanker yang memang sudah tidak mempan lagi dengan analgesik lain.
"Tetapi tanamannya yaitu opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena memiliki potensi penyalahgunaan yang besar," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan akan segera memberikan izin ganja untuk dilakukan penelitian medis.
Regulasi itu akan mengacu pada hasil kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penggunaan ganja untuk medis. Penelitian ganja diizinkan arena sama halnya dengan tumbuhan lain. Namun Menkes dengan tegas mengatakan bahwa ganja untuk konsumsi tetap dilarang.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengatakan bahwa sejauh ini riset lebih lanjut masih dilakukan terkait ganja sebagai pengobatan.
IDI mendorong adanya riset terlebih dahulu sebelum akhirnya digunakan dalam pelayanan medis. Para pakar IDI yang dilibatkan dalam riset di Kementerian Kesehatan RI dan lembaga terkait lainnya masih terus mengumpulkan referensi ilmiah terkait ganja medis.
“Proses di internal sudah dilakukan oleh IDI dengan elaborasi dengan dasar ilmiah yang ada, tentunya riset dengan referensi ilmiah. Semuanya harus tetap berbasis evidence based, jangan sampai merugikan dan keamanan, keselamatan pasien harus diperhitungkan,” tegas Adib. (OL-4)