29 June 2022, 17:34 WIB

IPB Lahirkan Generasi Ketiga Doktor Pemetaan Tanah Digital


mediaindonesia.com |

IPB University melahirkan generasi ketiga ilmuwan pemetaan digital asal Indonesia. Generasi pertama adalah Prof. Budiman Minasny, ilmuwan Indonesia yang berkiprah di University of Sydney. Generasi kedua yaitu Dr. Yiyi Sulaeman dari Kementerian Pertanian yang merupakan lulusan IPB University. Sementara generasi ketiga baru saja dilahirkan setelah sidang promosi doktor baru dari IPB University yaitu Destika Cahyana pada Rabu (29/6/2022).

"Dari generasi ketiga ini diharapkan pemetaan pada skala yang lebih detail dapat dilakukan di Indonesia," kata Prof. Budi Mulyanto, Ketua Umum Himpunan Indonesia dalam keteranganya, Rabu (29/6).

Destika Cahyana merupakan peneliti dari Kementerian Pertanian yang kini beralih ke Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). Destika menerapkan machine learning yang merupakan bagian dari kecerdasan buatan untuk pemetaan tanah digital di Indonesia. Ia memetakan tanah di Kabupaten Timor Tengah Utara, Jember, dan Bogor dengan algoritma machine learning sehingga di masa depan pemetaan tak perlu lagi melakukan pengamatan ke lapangan dengan intensitas yang rapat.

"Pengamatan lapangan tetap dilakukan, tetapi untuk melihat tingkat akurasi dari pemetaan yang dihasilkan oleh machine learning,” kata Dr. Baba Barus, ketua promotor.

Menurut Dr. Darmawan, salah satu anggota promotor, metode yang ditawarkan Destika dapat menjadi bagian dari mata kuliah pemetaan tanah dan survei di Jurusan Ilmu Tanah IPB. Destika mengenalkan cara baru memetakan tanah dengan pengamatan virtual berbasiskan pengetahuan hubungan tanah dengan lanskap. Promovendus juga menegaskan pemetaan tanah digital tidak dapat dilakukan oleh ahli kecerdasan buatan tanpa pengetahuan ilmu tanah. "Konsep ilmu tanah dipadukan dengan kemajuan teknologi komputer dan internet,” kata Darmawan.

Menurut Destika, ilmuwan ilmu tanah di Indonesia sudah saatnya mengembangkan teknologi kecerdasan buatan di bidangnya. Di negara maju teknologi kecerdasan buatan seperti machine learning telah digunakan ilmuwan ilmu tanah untuk pemetaan tanah, pemetaan sifat tanah, hingga monitoring kekeringan serta pemupukan.

"Kecerdasan buatan anugerah besar untuk sektor pertanian termasuk ilmu tanah sehingga harus dikembangkan seluas-luasnya,” kata Destika Cahyana, pada acara pengukuhan gelar doktor di IPB University, Bogor, Jawa Barat.

Destika berhasil mempertahankan disertasi berjudul ‘Pengembangan metode pendetailan satuan peta tanah (SPT) dari peta tanah semi detail (1:50.000) di wilayah Tropika’ pada sidang promosi yang gelar di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB University, pada di penghujung Juni 2022.

Menurut Destika, pendekatan machine learning untuk mendetailkan satuan peta tanah dapat menghemat waktu, biaya, dan resiko yang selama ini menjadi kendala dalam pemetaan tanah.
Pendetailan satuan peta tanah dengan cara sebelumnya membutuhkan survei ulang ke lokasi yang sama dengan jumlah pengamatan yang lebih rapat.

"Biaya perjalanan, penginapan, serta tenaga kerja menjadi komponen biaya tertinggi,” kata promovendus yang saat ini bekerja di BRIN itu. Komponen biaya di atas dapat mencapai 70% dari anggaran sehingga pemutakhiran peta tanah berjalan lambat.

Pada 2013 Indonesia berhasil menuntaskan pemetaan tanah skala 1:250.000 untuk seluruh wilayah Indonesia setelah berupaya lebih dari 63 tahun. Berikutnya pada 2019 Indonesia berhasil menyelesaikan peta tanah skala 1:50.000 untuk 511 kabupaten/kota setelah berupaya dari tahun 70-an. “Teknologi kecerdasan buatan dengan pendekatan machine learning menjadi jawaban untuk pemutakhiran peta yang lebih murah, cepat, dan minim risiko,” kata Destika yang mendapat beasiswa tugas belajar dari Badan Litbang Kementerian Pertanian itu.

Promovendus melakukan penelitian di tiga kabupaten yaitu Timor Tengah Utara, Jember, dan Bogor yang mewakili 3 variasi iklim di wilayah tropis. Destika menguji sejumlah algoritma dari machine learning yang biasa digunakan di negara subtropis untuk memetakan tanah dengan teknik pemetaan tanah digital. Ia juga menguji kombinasi faktor-faktor lingkungan yang dapat digunakan untuk menduga sebaran tanah di Indonesia yang tergolong wilayah tropis.  

Menurut Destika, pemetaan tanah digital di negara maju yang umumnya beriklim subtropis telah berkembang pesat sejak 10 tahun terakhir. “Kita berupaya menerapkannya dalam konteks wilayah tropis karena kondisinya berbeda,” kata alumnus dari Universitas Sriwijaya itu. Di wilayah tropis kondisi atmosfer banyak terhalang awan sehingga hanya data penginderaan jauh tertentu saja yang dapat digunakan. Demikian pula vegetasi di atas tanah tropis relatif lebih tinggi dan tebal dibanding vegetasi di wilayah subtropis.

Master dari Chiba University, Jepang ini, menyelesaikan disertasinya di bawah bimbingan para promotor dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB yaitu Dr. Baba Barus, Prof. Budi Mulyanto, dan Dr. Darmawan. Pembimbing lainnya dari luar IPB yaitu Dr. Yiyi Sulaeman yang merupakan peneliti di BRIN. Pada sidang promosi tersebut promovendus juga diuji oleh promotor luar komisi dari IPB yaitu  Bambang Hendro Trisasongko, S.P, M.Si, Ph.D  dan dari University of Sydney yaitu Prof. Budiman Minasny. (OL-13)

Baca Juga: Menggerakkan Cendekiawan Muhammadiyah

BERITA TERKAIT