21 June 2022, 13:25 WIB

WWF Ungkap Banyak Perusahaan Sawit Bermanuver Jadi Kelompok Tani dan Koperasi


Atalya Puspa |

WORLD Wide Fund for Nature (WWF) menemukan banyaknya perusahaan sawit yang bermanuver menjadi koperasi dan kelompok tani di wilayah Riau. Koordinator Eye on The Forest WWF Indonesia Nursamsu mengungkapkan, hal itu dilakukan untuk meraup keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan pihak lain.

"Banyak manuver pemilik modal cukong korporasi jadi kelompok tani atau koperasi untuk menghindari aturan 110A dan 110B dalam Undang-Undang Cipta Kerja," kata Nursamsu dalam RDPU bersama Komisi IV DPR, Selasa (21/6).

Seperti diketahui, pasal 110 A menyatakan, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum UU ini dan belum memenuhi syarat sesuai perundang-undangan berlaku, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak UU ini berlaku. Jika lebih tiga tahun, akan kena sanksi administrasi berupa pembayaran denda administrasi dan atau pencabutan izin berusaha.

Lalu pasal 110 B menyebutkan, setiap orang yang melakukan pelanggaran tanpa memiliki perizinan berusaha sebelum berlaku UU ini akan kena sanksi administrasi berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administrasi dan atau paksaan pemerintah.

Nursamsu mengungkapkan, temuan tersebut merupakan hasil investigasi WWF Indonesia Walhi Riau dan Jaringan Penyelamatan Hutan Riau pada 2019 lalu. Adapun, berdasarkan hasil investigasi, pihaknya berhasil menemukan fakta ada 43 perusahaan sawit dengan luas total 101 ribu hektare yang berada di dalam kawasan hutan.

"Tapi sebenarnya bukan hanya 43 perusahaan ini saja. Ini karena keterbatasan sumber daya kami, kami baru menemukan di bawah 10% dari data pemerintah yang menyatakan ada 1,8 juta hektare lahan sawit yang ada di dalam kawasan hutan di Riau," ungkap dia. Nursamsu menegaskan, modus yang paling banyak ditemui saat ini ialah perusahaan yang bermanuver menjadi kelompok tani dan koperasi.

Ia menjelaskan, sejumlah perusahaan memang memiliki izin HGU. Namun demikian, mereka rupanya tidak hanya menggunakan lahannya sendiri. Namun, mereka juga merambah kawasan hutan di sekitar kawasan HGU-nya untuk ditanami sawit.

"Mereka tidak hanya mengembangkan pada area HGU, tapi di luar juga. Di luar itu ada hutan produksi dapat dikonversi ada juga hutan produksi terbatas, hutan lindung," ungkapnya.

Untuk itu, ia merekomendasikan agar pemerintah transparan dalam pengelolaan data dan informasi kebut sawit yang terlanjut ada di kawasan hutan. "Harus dipublish agar masyarakat tahu bahwa di sekitar mereka ada kebun sawit yang terlanjur di kawasan hutan," ucap dia.

Selain itu, pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar permasalahan kebun sawit di dalam kawasan hutan dapat diatasi. Pemerintah juga diminta untuk berkoordinasi dengan CSO terkait denngan pendataan dan penyelsaian kawasan sawit di dalam hutan. "Jangan ada kesan pemerintah memfasilitasi kebun sawit dalam kawasan yang bukan masyarakat, sementara masyarakat tidak diperhatikan pemerintah," pungkas dia.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah berupaya untuk mengidentifikasi lahan sawit tak berizin yang berada di wilayah Kalimantan Tengah. Menteri LHK Siti Nurbaya mengungkapkan, berdasarkan data yang dihimpun sejak 1 Mei 2022 hingga 31 Mei 2022, KLHK telah mencatat ada sebanyak 831.333 hektare lahan sawit tak berizin yang tersebar di wilayah Kalimantan Tengah.

Selain itu, Siti juga mengungkapkan bahwa tedapat seluas 107.512 tambang tak berizin yang berada dalam kawasan hutan yang sebagian besar dimiliki oleh masyarakat.

Saat ini KLHK masih terus melakukan identifikasi perkebunan sawit dan lahan tambang tak berizin yang tersebar di 14 kabupaten/kota di Kalimantan Timur seluas 28.561 hektare. "Ini akan terus kami coba kejar. Dan yang sudah ada datanya nanti akan dicek satu-satu," ungkap dia.

KLHK telah membentuk tim task force untuk memberantas perkebunan sawit ilegal di Kalimantan Tengah dan Riau. Direktur Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menekankan, pihaknya juga telah memiliki langkah hukum yang tegas bagi pihak-pihak yang melanggar.

"Yang belum punya izin, ilegal ini kita akan lakukan penerapan denda administratif. Hitungannya ada di Undang-Undang Cipta Kerja, yakni 20% sampai 60% dari keuntungan perusahaan tersebut. Kalau mereka tidak mau membayar, di UU itu disampaikan juga bahwa akan kita kenakan penyitaan, pemblokiran dan paksa badan," beber Rasio.

Menurut Rasio membeberkan bahwa penegakan hukum yang tegas telah diberikan kepada oknum-oknum yang membuka tambang ilegal dan berhasil mengumpulkan denda sebesar kurang lebih Rp20 miliar. "Sawit ini akan lebih besar karena kawasan ilegalnya sudah besar. Untuk itu kami saat ini akan melakukan verifikasi ke lapangan," imbuh Rasio.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh KLHK ada seluas 16,3 juta hektare kebun sawit di Indonesia. Adapun, kebun sawit yang ada dalam kawsan APL atau bukan kawsan hutan yakni seluas 13 juta hektare.

Sementara itu yang ada dalam kawasan hutan ada sebanyak 3,3 juta hektare. Dari jumlah tersebut, yang belum berproses atau mengantongi permohonan ada seluas 2,4 juta hektare, yang merupakan kebun milik korporasi dan masyarakat. Sementara itu yang sedang dalam proses permohonan yakni sebanyak 713.229 hektare. (H-1)

BERITA TERKAIT