HARUM aroma jamu tercium dari delapan lukisan bertema Buddha yang dipajang di salah satu sudut ruangan Hotel Amanjiwo Magelang, Jawa Tengah. Lukisan karya pelukis spesialis pelukis Buddha Eastingmedi tersebut memang dibuat dari empon-empon yang merupakan bahan dasar pembuat jamu sebagai pengganti cat warna lukisan.
Pameran lukisan telah berlangsung sejak sekitar sebulan lalu dan akan berakhir pada Sabtu (14/5) mendatang. Ini merupakan kali pertama Eastingmedi memamerkan lukisan dengan bahan dasar empon-empon di dalam negeri sejak ia mulai menggunakan bahan tersebut dalam dua tahun terakhir
masa pandemi covid-19. Sebelumnya, pada pertengahan tahun 2021 Pelukis Eastingmedi pernah memamerkan lukisannya di Amerika.
"Ketika itu lukisan saya disukai beberapa pemerhati seni di sana (Amerika) dan laku terjual," tutur Eastingmedi, Kamis (12/5).
Diceritakan Eastingmedi, awalnya ia melakulan ujicoba bahan rempah karena kehabisan material cat. Namun lama kelamaan ia kemudian terbiasa dengan bahan tersebut lantaran hasilnya ternyata bagus.
"Gegara (karena) covid-19, kehabisan material cat, lalu saya memakai pewarna yang ada di halaman rumah, ketemulah empon-empon (rempah-rempah) seperti kunyit, temulawak, temu giring, temu ireng, temu mangga, dlingo bengle, kencur dan jahe," katanya.
Ia menjelaskan, cara mengolah bahan empon-empon menjadi cat earna lukisan dengan cara diparut. Kemudian cairan hasil parutan dikuaskan seperti layaknya teknik cat air. Kanvas yang digunakan untuk melukis dibalik terlebih dahulu. Kemudian kuasnya menggunakan kuas biasa dan batang dari
empon-empon.
"Misalnya kunyit diparut, kemudian diperas diambil cairannya. Lantas cairan tersebut dikuaskan seperti layaknya tehnik cat air. Pakai kanvas yang dibalik dipakai buat melukis. Kuasnya pakai kuas biasa dan batang dari empon-empon,"terang dia.
Mulai Awal pandemi covid-19 atau sekitar dua tahunan Estingmedi melukis dengan cara tersebut. Hasilnya tentu saja berbeda dengan lukisan yang menggunakan cat. Sebab karakter warna empon-empon itu memang unik. Sehingga hasil lukisannya lebih bercorak monokrom atau menyerupai dokumen foto jaman dulu dengan dominan warna kuning dan coklat.
Ketika dipajang, lukisan tersebut akan berbau rempah-rempah atau empon-empon. Karenanya, tidak sekedar memajang lukisan buat hiasan dinding, akan tetapi efek rempah bisa menyegarkan ruangan dan terkesan lebih sehat.
"Pemanfaatan empon-empon atau bahan pembuat jamu, sebenarnya sudah ada sejak jaman nenek moyang. Kita bisa melihatnya terpahat di dinding Candi Borobudur," katanya.
Proses uji coba mengganti cat warna dengan cat rempah memakan waktu sekitar tiga bulanan. Pada saat uji coba, kunyit mentah yang semula dipakai untuk melukis sempat mengalami perubahan warna. Eastingmedi kemudian berinisiatif merebus kunyit terlebih dahulu supaya warnanya lebih kuat.
"Saya berusaha mengotak-atik bahan rempah itu seperti mencampurnya dengan air kapur untuk menguatkan warna. Tingkat kesulitannya ada pada proses pewarnaan yang berulang ulang, jadi harus sabar agar bisa mencapai warna yang maksimal sehingga makan waktu lama,"ungkapnya.
Ia mengutarakan, sejauh ini Para Pelukis sangat terkena dampak pandemi covid-19. Eastingmedi yang hidup di daerah wisata dan pembeli lukisannya mayoritas turis manca negara amat terdampak. Dengan adanya pandemi maka tidak ada turis yang datang. Lukisanpun jadi tidak terjual.
"Kondisi itu tidak membuat saya berhenti melukis lantaran kehabisan material cat lukis. Di halaman rumah saya masih banyak tanaman empon-empon sehingga saya olah dan dipergunakan untuk pewarna cat lukis," katanya.
Sejauh ini, lanjutnya, banyak orang asing yang tertarik pada lukisannya, meski belum banyak yang memutuskan untuk membeli. Mereka masih ragu karena belum bisa melihat langsung lukisan berbahan empon-empon. Namun untuk pecinta seni dalam negeri sudah ada beberapa yang membeli setelah mendapat penjelasan betapa menariknya warna kunyit yang unik pada lukisan.
Menurut dia, seharusnya harga lukisan berbahan empon-empon dijual lebih mahal. Soalnya proses pembuatan lukisan memerlukan waktu yang lama, yakni dengan mengkuaskanya secara ber ulang-ulang. Akan tetapi kondisi saat ini, apalagi untuk wisatawan domestik, ia mesti menjual lukisan dengan harga yang terjangkau. "Akhirnya lukisan saya beri harga separoh lebih murah dari harga biasanya,"ujarnya.
Ia menyebutkan, untuk lukisan yang sudah terjual ukuran 40 x 50 cm dihargai Rp3,5 juta. Lukisan berukuran 80 x 100 cm terbeli dengan harga Rp7 juta, ukuran 150 x 200 cm laku dengan harga Rp25 jt. Semua lukisan bertema Buddha. Sejak tahun 2012 ia memang jadi pelukis spesialis Kepala Buddha karena lahir dan tinggal di daerah Borobudur.
Lukisan berbahan cat dari rempah-rempat sampai saat ini masih jarang. Kemungkinan belum ada yang menekuni selain Eastingmedi. Ke depan, dia berencana ingin menggelar pameran di Solo exhibition untuk karya tersebut. Rencananya bulan depan, yakni pada 25 juni 2022, Ia akan mengikuti pameran untuk pelukis daru empat negara di Kuala Ampang, Selangor, Malaysia.
"Saya akan membawa tiga lukisan buddha di pameran lukisan tersebut," pungkasnya. (OL-13)
Baca Juga: Masyarakat Desa di DIY Dukung Ganjar Jadi Presiden di 2024