24 March 2022, 05:35 WIB

Mewujudkan Industri Halal Nasional Berdaya Saing


Abdul Rohman |

POTENSI pasar global bagi produk halal terus meningkat. Meski di tengah tekanan pada perekonomian di seluruh dunia akibat pandemi  covid19, industri halal di dalam negeri juga mencatatkan kinerja positif, bahkan diyakini akan mampu menjadi pemicu pemulihan ekonomi nasional.

Pasar produk halal meningkat pesat dari tahun ke tahun seiring dengan kesadaran umat Islam untuk mengonsumsi produk yang halal dan bergaya hidup syar’i. Di sisi lain, pandemi juga menyadarkan masyakat tentang manfaat gaya hidup halal dalam menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan yang aman, berkualitas, dan sehat.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tentunya bukan hanya harus mampu mengambil manfaat dari pangsa pasar tersebut, melainkan menjadi pusat produsen halal dunia--pemerintah menargetkan pada 2024. Untuk mencapai target tinggi itu, industri halal nasional mesti terus diperkuat agar bisa menghasilkan produk berdaya saing.

Menghasilkan produk halal berkualitas diperlukan kebijakan yang mendorong sektor halal, dukungan penelitian, dan keberadaan pusat penelitian produk halal. Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai wujud pengabdian pada masyarakat, mendirikan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Institute for Halal Industry and Systems (PUI-PT IHIS).

‘Kampus Biru’ telah menjalankan kajian intensif tentang industri halal sejak 2017. Langkah itu jauh sebelum ada Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang mewajibkan semua produk bersertifi kat halal. Ketika itu, riset terkait halal secara saintifi k masih sangat minim. 

Saya secara pribadi sepulang dari studi banding ke Malaysia pada 2011 menginisiasi Halal Research Group, berisi teman-teman yang perhatian di bidang yang sama. Kelompok riset itu kemudian dilembagakan menjadi Pusat Penelitian Produk Halal di UGM.


Market industri halal

Mengingat jumlah populasi muslim di Tanah Air lebih dari 230 juta jiwa, peluang industri halal di Indonesia sangat besar. Nilai potensi industri halal secara nasional diperkirakan mencapai US$184 miliar untuk pasar domestik dan US$1,9 triliun untuk pasar global.

State of Global Islamic Economic Report 2020-2021 memperkirakan pertumbuhan pasar halal dunia mencapai US$2,4 triliun (sekitar Rp34.441 triliun) pada 2024. Sepanjang 2020-2021, komunitas muslim global membelanjakan kurang lebih US$2,02 triliun untuk kebutuhan produk halal mereka, dari makanan, farmasi, kosmetik, fesyen, dan pariwisata. Nilainya meningkat 3,2% jika dibandingkan dengan 2018.


Inovasi UGM

PUIPT IHIS UGM merupakan pusat unggulan iptek di bidang sains sehingga banyak inovasi baru yang dikembangkan. Penemuan-penemuan anyar, di antaranya itu terkait metode deteksi bahan nonhalal yang user friendly dan karakterisasi bahan substitusi bahan baku impor seperti gelatin dan kolagen.

Gelatin ialah salah satu komponen yang digunakan dalam produk makanan dan sebagai bahan pembuat cangkang kapsul. Kebutuhan akan gelatin di Indonesia saat ini hampir 100% dipenuhi dari impor dan sebagian besar berasal dari babi yang tentunya dilarang dikonsumsi oleh orang Islam.

Sebagai solusinya, peneliti PUI-PT IHIS yang juga Guru Besar Fakultas Peternakan UGM Yuny Erwanto telah mengembangkan gelatin halal, yakni dari kambing lokal. Penelitian terbaru peptide bioaktif kolagen dari kulit dan tulang kambing berpotensi sebagai agen antihipertensi. Tim UGM sudah mendaftarkan paten produk kolagen kam bing dan isolasinya sejak 2019 dan kini dalam tahap evaluasi akhir oleh Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Potensi pasar gelatin sangat besar. Laporan Report Linker pada 2020 menyebutkan produksi gelatin dunia mencapai 516,8 metrik ton dan diperkirakan akan mencapai 696,1 metrik ton pada 2027 atau meningkat 4,3 % setiap tahun.

Sementara itu, Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 menunjukkan Indonesia mengimpor 4.808 ton gelatin dan jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya lokal sebagai sumber gelatin dan kolagen perlu terus kita kembangkan.

Selain itu, jumlah pemotongan sapi di Indonesia pada 2019 dilaporkan sebanyak 1.102.256 ekor. Apabila berat hidup sapi potong rata rata 350 kg, dihasilkan kulit sapi segar per ekor sekitar 30 kg atau total sekitar 33.067 ton.

Jumlah tersebut dapat memproduksi gelatin sekitar 3.300 ton. Tulang yang dihasilkan akan mencapai lebih dari 57.317 ton atau bisa menghasilkan sekitar 4.580 ton gelatin. Potensi tersebut sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

PUI-PT IHIS juga berhasil mengembangkan produk sabun cair dan padat berbasis bentonit (tanah liat) untuk kebutuhan menyucikan najis mughaladzah (berat). Inovasi itu sangat membantu karena masyarakat tidak perlu mencari debu untuk menyucikan diri dari najis berat.


Pendeteksi komponen nonhalal

Komponen nonhalal, seperti daging babi, lemak babi, dan gelatin babi, tanpa disadari terdapat di berbagai produk makanan, kosmetik, dan farmasi yang beredar di sekitar kita.

Peneliti PUI-PT IHIS Tri Joko Raharjo mengembangkan metode berbasis DNA, yaitu real-time PCR untuk deteksi keberadaan DNA babi dalam bakso dan DNA babi dalam cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin. Sistem deteksi tersebut telah diakui dan memperoleh sertifikat akreditasi ISO 17025: 2017 untuk ruang lingkup uji kehalalan produk.

Peneliti lain, Kuwat Triyana, juga mengembangkan sistem pembau elektronik e-nose untuk skrining cepat keberadaan komponen nonhalal dalam produk makanan, kosmetik, dan farmasi.

PUI-PT IHIS UGM melakukan edukasi sistem jaminan halal ke masyarakat umum supaya melek produk halal. Semua kegiatan edukasi itu dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan kehalalan produk makanan dan farmasi yang mereka gunakan. (Hym/X-6)

BERITA TERKAIT